Sub sektor Perikanan sebagai bagian dari sumberdaya ekonomi maritim, keberadaannya sangat strategis dalam memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan nasonal. Bahkan, se-level Badan Pangan Dunia/FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nation) telah memprediksi bahwa sub sektor perikanan budidaya menjadi salah satu sumberdaya yang akan sangat diandalkan ke depan utamanya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat global.
Saat ini, negara-negara di dunia dituntut untuk berkeras mencari solusi bagaimana memenuhi kebutuhan pangan ditengah fenomena ledakan penduduk yang seolah tak terkendali. Data menyebutkan bahwa hingga tahun 2050 diproyeksikan jumlah penduduk dunia akan mencapai hingga 9,7 milyar jiwa.
Fenomena pergeseran orientasi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat global yang lebih mengedepankan pada konsumsi pangan yang aman dan menyehatkan, telah secara langsung memicu tingginya permintaan terhadap kebutuhan protein alternatif. Dengan kata lain pola konsumsi tersebut telah bergeser dari produk pangan berbasis daging merah ke arah produk pangan yang berbasis daging putih dalam hal ini ikan. FAO dalam rilis datanya menyimpulkan bahwa tingkat konsumsi ikan masyarakat dunia cenderung naik secara signifikan, sementara konsumsi daging merah justru memperlihatkan trend yang cenderung menurun.
Disisi lain, dengan semakin tingginya permintaan terhadap produk perikanan, negara-negara di dunia dihadapkan pada kekhawatiran adanya fakta bahwa perikanan tangkap yang dilakukan secara over eksploitatif lambat laun akan menurunkan potensi lestari sumberdaya ikan yang ada. Fenomena over fishingdan kerusakan habitat akan menjadi momok sebagai penyebab menurunnya suplai produksi ikan, ini jika tidak dilakukan pengelolaan secara bertanggunjawab. Kekhawatiran atas fakta diatas, akan menggiring pada suatu keputusan bahwa ke depan sub sektor perikanan budidaya merupakan bagian penting dalam menjawab tantangan besar ketahanan pangan masyarakat global.
Laporan FAO menyebutkan bahwa rata-rata warga dunia melahap setidaknya 20 kilogram ikan pada tahun 2014, naik dari 9,9 kilogram per tahun pada era 60-an. Sementara di tahun 2030 tingkat konsumsi ikan dunia diprediksi akan menyampai 22,5 kg per kapita per tahun. Nilai ini diperkirakkan akan memacu peningkatan produksi perikanan budidaya sebesar 172 juta ton, atau naik 15 persen dari rata-rata kebutuhan pada kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2011.
Sebagai gambaran kontribusi perikanan budidaya terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan dunia mengalami kenaikan signifikan yaitu dari 7 persen pada tahun 1974 naik menjadi 39 persen pada tahun 2004 dan trennya terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, tidak salah jika FAO memprediksi ke depan perikanan budidaya akan menjadi barometer utama dalam menopang kebutuhan gizi berbasis ikan bagi masyarakat global (FAO,2016).
FAO juga merilis data bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 hingga tahun 2016 produksi perikanan budidaya dunia telah mengalami lonjakan dari sebesar 61,5 juta ton pada tahun 2009 menjadi 101 juta ton pada 2014 atau naik rata-rata pertahun sebesar 6,1 persen. Sedangkan disatu sisi dalam kurun waktu yang sama produksi perikanan tangkap hanya mengalami kenaikan rata-rata 0,72 persen dan seterusnya cenderung menujukkan trend yang konstan.
Perikanan Budidaya dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional
Pada tataran nasional, kita bisa lihat bahwa tingkat konsumsi ikan perkapita dalam 6 (enam) tahun terakhir (2011-2016) mengalami kenaikan rata-rata sebesar 6,3 persen. Tahun 2016 tercatat tingkat konsumsi ikan nasional sebanyak 43,94 kg per kapita per tahun atau naik sebesar 6,8 persen dari tahun sebelumnya. Kendati demikian angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di level Asean, semisal Malaysia yang telah mencapai 70 kg per kapita per tahun.
Tren konsumsi ikan perkapita yang cenderung terus naik mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma pola konsumsi sebagaimana negara-negara lain di dunia. Hal ini juga bisa dilihat bahwa ternyata produk ikan memberikan share dominan terhadap konsumsi protein hewani yaitu sebesar 57,2 persen. Nilai ini jauh mengungguli susu/telur dan daging, yang masing-masing hanya memberikan share sebesar 23,2 persen dan 19,6 persen (SUSENAS-BPS, 2010).
Hingga tahun 2019 Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi ikan Indonesia mencapai lebih dari 50 kg per kapita, artinya untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan suplai setidaknya minimal sebanyak 14,6 juta ton ikan konsumsi per tahun. Penulis memprediksi, suplai tersebut nantinya akan banyak tergantung pada produk ikan hasil budidaya yakni paling tidak sekitar 60 persen dari total kebutuhan atau setidaknya sebanyak 8,76 juta ton pada tahun 2019.
Disisi lain, kinerja produksi perikanan budidaya nasional juga menunjukkan tren positif, dimana dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir (2011-2015) cenderung mengalami kenaikan rata-rata pertahun hingga 19,08% dan tercatat sebagai nomor 2 (dua) produsen perikanan budidaya dunia. Pada tahun 2014 Indonesia menyumbang sedikitnya 14,22 persen dari total produksi perikanan budidaya dunia dan menempati urutan ke-dua setelah China yang masih mendominasi dengan share sebesar 58,16 persen.
Inilah kemudian menjadi alasan penting, kenapa perikanan budidaya ke depan akan menjadi ujung tombak pemenuhan kebutuhan pangan berbasis ikan. Budidaya memiliki peluang strategis dalam memberikan kontribusi besar terhadap pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan berkelanjutan. Kenapa demikian? Alasannya, karena sumberdaya perikanan budidaya dapat dimanfaatan secara optimal sesuai kebutuhan melalui penerapan teknologi. Ketergantungan pangan yang hanya mengandalkan eksploitasi alam, dikhawatirkan akan mencapai ambang batas potensi lestari , akibat over eksploitasi.
Ada fenomena yang menarik, pada awal tahun 2014 pertama kalinya dalam sejarah, dua komoditas perikanan yaitu ikan tongkol dan ikan bandeng justru memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,05 persen (sumber : m.liputan6.com, 2014). Fakta ini menyimpulkan betapa ke dua komoditas ini terutama komoditas bandeng menjadi salah satu produk pangan yang dianggap penting dan strategis di kalangan masyarakat luas.Â
Dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, ikan bandeng menjadi satu-satunya komoditas perikanan selain ikan Tongkol/Tuna/Cakalang yang masuk jajaran kategori barang pokok. Tentunya Perpres ini mengisyaratkan tanggunjawab dalam mendorong sub sector perikanan budidaya untuk turut berperan dalam menjamin suplai dan kestabilan pasokan bahan pangan bagi masyarakat.
Bicara peluang, dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia justru diuntungkan karena disuguhi karunia potensi sumberdaya yang melimpah serta dukungan pola iklim yang baik, sehingga sangat potensial untuk pengembangan berbagai varian jenis komoditas sesuai kebutuhan. Uniknya, varian komoditas tersebut dapat dikembangkan sesuai spesifikasi lokasi diberbagai daerah. Inilah, yang menjadi alasan kenapa perikanan budidaya memiliki keunggulan komparatif di banding negara-negara lain.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa total potensi lahan indikatif perikanan budidaya diperkirakan mencapai 17,8 juta hektar. Dari total tersebut dengan mempertimbangkan daya dukung lahan yang ada, penulis memperkirakan bahwa luas lahan efektif yang bisa dioptimalkan untuk kegiatan budidaya mencapai sekitar 6,42 juta hektar, yaitu masing-masing untuk budidaya air laut sekitar 2,4 juta hektar (20 persen dari total potensi indiktif), budidaya air payau ekitar 2 juta hektar (70 persen dari total potensi indikatif) dan budidaya air tawar sekitar 566 ribu hektar (20 persen dari total potensi indikatif).
Dari total lahan efektif tersebut setidaknya potensi kapasitas produksi ikan (di luar produk non food-use) yang dapat dioptimalkan diperkirakan hingga 130 juta ton per tahun dari semua jenis budidaya.Â
Jika diasumsikan sekitar 30 persen saja diprioritaskan untuk kepentingan orientasi ekspor, maka setidaknya sebanyak 91 juta ton per tahun merupakan potensi yang dapat disuplai untuk memenuhi konsumsi ikan dalam negeri. Kita belum bicara nilai ekonomi langsung (direct use value), namun angka tersebut sangat berpeluang peluang besar dalam menopang ketahanan pangan nasional bahkan dunia. Potensi ini tentunya menjadi peluang untuk menggenjot varian komoditas non ekspor.
Budidaya di tengah perubahan iklim dan lingkungan
Fenomena perubahan iklim dan lingkungan global saat ini diprediksi akan menjadi tantangan utama bagi sektor-sektor berbasis pangan termasuk perikanan budidaya. Disisi lain fenomena industrialisasi yang mereduksi fungsi lahan pada sektor-sektor tersebut juga menjadi ancaman bagi pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Bukan hanya di Indonesia, tapi isu ini menjadi fokus perhatian negara-negara di belahan dunia.
Menghadapi tantangan di atas, maka penting untuk membuat semacam peta jalan (road map) pengembangan perikanan budidaya dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan lingkungan global. Ini akan menjadi acuan semua pelaku dalam melakukan langkah-langkah antisipatif menghadapi tantangan tersebut. Bagaimana meng-create kegiatan budidaya dengan mengedepankan prinsip "eko-efisiensi" berbasis mitigasi dan konservasi yaitu dengan mendorong produktivitas tinggi, lebih efisien dengan tetap menjaga kualitas lingkungan perlu terus didorong.
Kendati demikian, penulis menilai bahwa langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini Ditjen Perikanan Budidaya tetap on the track dengan terus mendorong inovasi teknologi budidaya yang mengedepankan prinsip-prinsip di atas.Â
Kita bisa lihat berbagai upaya yang dinilai memerlihatkan dampak positif antara lain : pengembangan gerakan pakan mandiri yang memanfaatkan bahan baku lokal telah secara langsung mampu meningkatkan nilai tambah keuntungan pembudidaya. Upaya diversifikasi komoditas yang lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan, khususnya komoditas jenis low thropic level dan pengembangan komoditas unggulan lokal. Intensifikasi teknologi berbasis eko-efisiensi semisal budidaya intensif lele system bioflok yang mampu menggenjot produktivitas hingga 3 kali lipat dengan memanfaatkan lahan dan sumber air terbatas.
Keberhasilan teknologi Resirculating Aquaculture System (RAS) yang mampu genjot produktivitas benih hingga 100 kali lipat dalam lahan terbatas dan hemat sumber air. Pengembangan minapadi yang memberikan multiple cash flowterhadap peningkatan nilai tambah dan telah menjadi rujukan model di level Asia-Pasifik.Â
Penerapan model budidaya Integrated Multithropic Aquaculture (IMTA), implementasi acuan prinsip budidaya berbasis ekosistem (Ecosytem Approach to Aquaculture). Serta berbagai inovasi teknologi lainnya yang mudah diadopsi oleh masyarakat luas. Ini semua tentunya menjadi harapan baru, bahwa usaha budidaya masih bisa didorong dan mampu menjawab tantangan yang ada.
Pun demikian, kebijakan Pemerintah dalam mendorong Sistem Jaminan Mutu dan keamanan pangan hasil perikanan harus didukung penuh oleh semua elemen. Penerapan sistem secara terintegrasi dari hulu sampai hilir akan menjamin ketelusuran produk, sehingga bahaya keamanan pangan bisa diantisipasi.Â
Penerepan kaidah Cara Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB) dan Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB) pada level hulu dan HACCP/ISO/Eco-Labellingpada level hilir merupakan kebijakan mutlak yang perlu terus didorong. Upaya ini tentunya menjadi bentuk tanggungjawab dalam menjamin keamanan dan kesehatan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H