Lagi-lagi penyebabnya adalah in-efesiensi produksi, input produksi yang dikeluarkan tak sebanding dengan output yang dihasilkan. Belum lagi "gap" nilai tambah ekonomi antara petani dengan pengepul/makelar dan aktor-aktor pasar lainnya di hilir terlalu jauh, maka tak sedikit petani terjerat perangkap para lintah darat, bahkan memilih menjual lahannya untuk bisnis lain.
Artinya keberpihakan (affirmative policy) dari Pemerintah untuk menjamin keberdayaan petani masih sangat rendah. Inilah kemudian, rasa bangga menjadi petani lambat laun kian luntur, karena memang profesi petani semakin tidak menjanjikan secara ekonomi. Lunturnya rasa bangga menjadi seorang petani menurut hemat penulis adalah PR besar pemerintah yang harus menjadi agenda revolusi mental. Bagaimana caranya? Jalan satu-satunya adalah dengan affirmative policy terhadap petani dan profesinya.
Mungkin tidak melulu kita menyalahkan para sarjana pertanian yang belum mau kembali ke desa dan bergelut di ladang dan sawah, karena urusan dasar terkait tata kelola di sektor pertanian mulai dari sistem produksi, hingga tata niaga harus dibereskan dulu dan menjadi tugas policy maker di pusat dan daerah. Pemerintah harus menjamin dan merubah kesan bahwa profesi petani ini menjanjikan secara ekonomi, tentunya dengan langkah-langkah konkrit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H