Di luar sistem tata kelola pertanian yang menurut beberapa pengamat belum begitu baik. Kegelisahan lain kemudian muncul manakala lahan pertanian yang kian tereduksi. Penyebabnya lagi lagi keberpihakan (affirmative policy) yang rendah utamanya terkait perencanaan ruang (spatial planning).
Hal yang menggelitik adalah pernyataan peneliti INDEF, Imanuddin Abdullah, yang menyatakan bahkan ketimpangan lahan pertanian di Indonesia masih sangat tinggi. Rata-rata kepemilikan lahan garapan petani di Indonesia hanya 0,8 hektare, masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Jepang dengan rata-rata 1,57 hektare, Korea Selatan 1,46 hektare, Filipina 2 hektare dan Thailand 3,2 hektare (dikutip dari kompas.com).Â
Pasca otonomi daerah, hampir sebagian besar daerah berlomba bagaimana menarik Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar besarnya serta bagaimana menggenjot Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) melalui kran investasi. Sayangnya pembiayaan pembangunan lebih banyak mengandalkan sumber yang berasal dari tarikan investasi di sektor industri dan turunannya (non agrobisnis) karena dipandang lebih cepat mendapat pundi pundi dana.
Ironisnya banyak daerah menarik investasi di bidang ini namun mengorbankan sektor strategis dalam hal ini pertanian secara umum. Maka terjadilah apa yang dinamakan dengan "zero sum game" yaitu satu tumbuh dengan mematikan yang lain dan ini menjadi ancaman jangka panjang.
Padahal dalam perencanaan pembangunan Pemerintah mestinya mendorong sinergi dengan menyamakan prioritas kepentingan pembangunan di semua sector dan dimensi (ekologi, ekonomi, dan social).
Fakta menunjukkan hanya sedikit daerah yang mengedepankan affirmative policy pada sektor pertanian dalam perencanaan tata ruangnya. Bisa dilihat kenyataan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun untuk pembangunan jangka panjang (20 tahun ke depan) pada kenyataannya dapat dengan gampang dirubah berdasarkan diskresi penguasa daerah.
Ironisnya lagi banyak peruntukan ruang yang tadinya untuk sektor pertanian berubah sesaat menjadi kawasan industri, infratruktur jalan, perumahan, retail/perdagangan, pertambangan dan non agrobisnis lainnya.
Pertimbangannya atas nama investasi dan genjot pertumbuhan ekonomi katanya. Padahal fakta memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini lebih bersifat eksklusif ekonomi makro yang tidak berbasis pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks tata ruang urbanisasi juga diartikan sebagai perubahan desa menjadi kota. Industrialisasi dipastikan akan memicu tumbuhnya ruang ruang lain seperti perumahan, pusat perbelanjaan, perdagangan dan lainnya yang secara otomatis akan menggusur peruntukan ruang sektor pertanian.
Disatu sisi sebagian publik menilai bahwa pergerakan ekonomi harus diwujudkan melalui pengembangan pusat-pusat industri, namun lupa bahwa konsep growth poletidak selalu menciptkan hal tersebut, karena industri yang berkembang justru bukan berbasis sumberdaya alam.
Contoh konkret adalah industrialisasi yang terjadi di Karawang. Menjamurnya industri secara nyata telah merubah fungsi lahan sawah. Padahal dulu Karawang merupakan lumbung padi nasional.