Jika kita amati pola pendekatan pembangunan sebelum era reformasi, maka kita bisa simpulkan bahwa tidak efektifnya konsepsi pusat pertumbuhan ekonomi di masa itu, karena kurang melirik potensi ekonomi berbasis sumberdaya sebagai kekuatan utama. Disisi lain, pembangunan lebih bersifat sentralistik dan masyarakat seringkali hanya diposisikan sebagai objek pembangunan saat itu.
Oleh karenanya, akuakultur harus dihadirkan sebagai prime mover dalam mewujudkan pusat pusat pertumbuhan ekonomi yang berbasis komoditas unggulan lokal dengan memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan. Dengan begitu pusat pertumbuhan ekonomi berbasis perikanan budidaya akan memberikan trickle down effect yang positif bagi kawasan-kawasan lain.
Efektif, Terukur dan Terarah
Setidaknya ada 5 poin pokok penting yang harus didorong dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA perikanan budidaya.
Pertama, mendorong Investasi. Dorongan dilakukan dengan titik berat pada upaya pemberdayaan masyarakat (family-based aquaculture) ini penting mengingat kondisi masyarakat yang masih rentan terhadap kemiskinan. Pemerintah perlu mendorong fasilitasi masuknya investasi dalam negeri dan memberikan jaminan keamanan dan iklim investasi yang kondusif.
Kemudahan investasi dibidang ini yakni terkait dengan efesiensi perijinan, dan keberpihakan kebijakan rencana tata ruang wilayah (spatial planning) terhadap kegiatan akuakultur.
Kedua, fokus pada komoditas yang berbasis pasar. Indonesia harus mampu mendorong terbukanya akses pasar secara luas. Produk akuakultur harus berbasis keinginan dan tren pasar, sehingga mampu berdaya saing dan siklus bisnis berjalan positif. Penguatan daya saing tentunya didongkrak oleh jaminan mutu, efesiensi produksi, dan pemenuhan preferensi konsumen. Oleh karenanya, pemenuhan sertifikasi dan standardisasi menjadi suatu keniscayaan yang harus jadi focus perhatian.
Ketiga, penataan sistem logistik dan perbaikan infrastruktur. Penataan sistem logistik bagi input produksi, terutama pakan dan benih ikan didorong untuk efisiensi rantai distribusi dan menjamin kemudahan akses bagi masyarakat. Pun demikian, infrastruktur harus dibangun dalam kerangka menjamin konektivitas yang efisien dari hulu ke hilir, sehingga cost produksi bisa ditekan.
Siklus bisnis akuakultur akan mampu berjalan berkesinambungan jika mata rantai sistem produksi mampu bergerak dari hulu sampai hilir, dimana kehadiran infrastruktur menjadi suatu keniscayaan.
Keempat, pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan usaha budidaya harus terukur, efisien, adaptif, dan aplikatif. Teknologi budidaya perlu mengedepankan prinsip "eko-efisiensi" berbasis mitigasi dan konservasi yaitu dengan mendorong produktivitas tinggi, lebih efisien dengan tetap menjaga kualitas lingkungan. Di sisi lain, pengelolaan harus secara integratif-holistik dengan tetap mempertimbangkan kepentingan multi-sektor dan pengaruh-pengaruh eksternal lainnya.
Kelima, jaminan kemudahan akses. Penulis kira ini sangat penting bagaimana para pelaku usaha budidaya, khususnya pada skala kecil, dapat mengembangkan kapasitas usahanya. Peran fasilitasi bagi kemudahan akses produksi, informasi teknologi, dan market juga harus didorong, sehingga lambat laun pembudidaya akan semakin mandiri. Segala bentuk dukungan dari berbagai pihak harus berbasis pada need assesment, solution approach, dan community/stakeholders participatory, dengan begitu program akan memberikan dampak bagi pengembangan masyarakat (community development).