Mohon tunggu...
Aulia Ilmi
Aulia Ilmi Mohon Tunggu... Wiraswasta - With GOD all things are possible

Life is journey

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Cinta ala Barista

31 Agustus 2022   00:41 Diperbarui: 31 Agustus 2022   00:48 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seminggu sudah aku bekerja di sini, coffee shop ternama di kawasan wisata bergengsi. Pengalaman baristaku memang belum panjang, tapi modal tampangku yang lumayan dan postur tubuhku yang oke, aku menjadi satu kandidat terpilih yang berhasil menyisihkan sekian puluh saingan lainnya, mendapat kesempatan untuk menjadi barista di sini. Beruntung memang ... .
"Coffee and non coffee", itu slogan yang biasa ku teriakkan untuk menarik pembeli.

Sabtu sore itu ...
Sebenarnya sudah waktuku pulang, tapi weekend jam segini memang toko rame. Aku sedang berbaik hati membantu teman baristaku, Candra, melayani antrian pembeli yang mulai mengular.

Dan aku melihatnya di deretan pembeli yang antri di depan counter ... seakan waktu terhenti, lampu panggung tersorot ke dia. Gadis cantik berbaju merah. Rambutnya yang dikucir kuda, gayanya yang sportif, matanya yang hidup. Entah kenapa aku merasa senyumnya semanis madu, biarpun masker menutupi separuh wajahnya.

Dia yang sedang asyik main hp di sana, oh, aku langsung terpana pada pandangan pertama. Mungkinkah ini cinta?
"Bro, minta tolong kakak nya ini bayar pake debit", ujar Candra mengagetkanku dari lamunan.

Aku langsung beringsut dari tempatku dan menuju mesin BCA Flash untuk memproses pembayaran konsumen. Sesekali aku meliriknya, berharap aku lah orang yang akan melayani kopinya. Aku yang sedang terpesona penasaran ... .
Yah, mesinnya ngadat, jaringan lagi error. Butuh beberapa menit untuk melayani konsumen ini dan si gadis merah itu pun melenggang dengan anggun nya ke counter. Tiba gilirannya untuk dilayani, sayangnya itu bukan aku, huhuhu. Harapanku pun musnah sudah begitu dia pesen kopi untuk dibawa pergi, bukan untuk diminum di sini.

Senin yang sibuk ...
Kemacetan jalan memaksaku datang agak terlambat dari jam kerjaku yang seharusnya. Dengan terburu-buru aku menyusuri lorong meja yang ramai pengunjung. Di meja ujung, aku melihat beberapa cewek, anak kuliah, ku lihat dari jas almamater yang dikenakannya. Hening sekejap waktu ku lewat, bisik-bisik dan tertawa tertahan terdengar setelah ku menjauh. Sudut mataku melihat sesuatu, tapi aku tak punya waktu untuk mengetahui apa itu. Aku hanya berharap hari kerja ku akan baik-baik saja. Its a Money Day anyhow ... .

Begitu aku sudah siap, Daniel memintaku untuk menghantarkan pesanan kopi ke meja di pojok sana. Alamak, meja mahasiswi-mahasiswi yang tadi. Aku mencoba bersikap tenang dan profesional. Walaupun sebenarnya aku selalu kikuk di hadapan cewek-cewek.
"Palm Sugar Latte 1, Espresso Hazelnut 2,  Matcha 1, Avocadoffee 2 ... benar ya pesanannya?", ujarku ketika sampai di meja mereka.
"Bener kak", jawab seorang berambut cepak.
"Eh, Sinta, kamu belum kami pesenin lho. Pesen gih, mumpung ada kak baristanya ke sini", ujar seorang berkacamata.
Yang disapa mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatapku. Sesaat mata kita beradu. Aku merasa dalam Dejavu, mata itu tak asing, seakan aku pernah melihatnya, entah dimana.

"Apa ya? Mmm, es loreng aja deh", ujarnya enteng. "Siap", ujarku lalu berlalu.
Sepanjang membuat pesanannya,
benakku terus memikirkan mata indah itu. Entah kenapa aku merindukannya, ingin melihatnya lagi dan lagi. Sesekali aku melirik meja mereka, gadis itu masih terpekur di depan laptopnya, sementara teman-temannya bergurau bercengkrama. Dia seakan tenggelam dalam dunia kecilnya.

"Ini kak pesanannya", ujarku mengagetkannya. "Oh iya, terima kasih", senyumnya semanis madu. Madu? Aha, sekarang baru aku inget siapa gerangan dia. Si gadis berbaju merah, yang beberapa hari lalu datang dengan pesonanya. Hatiku serasa terbang melayang saking bahagianya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saatnya telah tiba, ingin sekali aku mengenalnya.
Aku salting, sepanjang sisa waktu aku mencuri-curi waktu, sekedar meliriknya ataupun lewat di depannya. Tapi dia secuek bebek. Beruntung kesibukan kerjaku menghiburku, hingga tak terasa dia pun berlalu. Bukan malam yang tak seperti ku harapkan, cintaku bertepuk sebelah tangan.

Jumat pagi yang manis ...
"Argh ... ", pekik suara cewek. Suara meja digebrak. Rupanya ada keributan di meja depan. Segera kutinggalkan pekerjaan merapikan counter dan menuju sumber suara itu.
"Dasar cowok tak tahu diri, otakmu taruh mana? Pinjem mobil temenku malah dibuat kencan sama gadis ingusan ini", cerocos cewek berambut cepak.
"Eh, udah, malu tahu", sergah teman di sebelahnya.
"Hati-hati dik, tau sekarang dia siapa kan? Buaya ... ! Mending kamu sekolah aja dulu deh yang bener, biar pinter, biar ga tertipu sama playboy cap sarang walet begini", seru si kacamata.
Cewek yang mengenakan seragam SMU itu mau tak mau beringsut menjauh dari meja. Rupanya dia yang berteriak tadi, tumpahan kopi telah membuat noda di kemeja putihnya. Baru kusadari apa yang terjadi. Cerita perselingkuhan yang berujung ketahuan.  

Cowok ganteng itu menyeka wajahnya dengan tisu yang ada di meja. Wajahnya memerah menahan amarah, pastinya juga menahan malu. Seorang cewek telah berani menyiramkan segelas kopi ke wajahnya yang mirip artis, membuatnya meringis. Beruntung hanya es, coba kalau kopi panas. Bisa-bisa dia harus mengoperasi plastik wajahnya agar bisa kembali seganteng Angga Yunanda.
"Maaf Sinta, tapi aku bisa jelasin semua ...", jawab cowok ganteng itu sekenanya.
"Udah ga usah, aku ga butuh penjelasanmu. Mana kunci mobil sama STNK nya, kalian pulang aja", ucap Sinta santai.
Sinta bersikap tenang, heran aku dibuatnya. Bagaimana bisa dia yang teraniaya malah setenang samudera, justru teman-temannya yang bereaksi.
"Sinta, please ... ", si cowok mulai mengiba.
"Eh, pulang ga lo! Atau mau kuguyur pake kopi seember?", hardik si kacamata makin ketus. Cowok ganteng itu sesaat terpaku terdiam menatap Sinta, ada penyesalan di matanya. Dia mengulurkan kunci mobil dan STNK sambil mencoba meraih tangan Sinta, tapi dengan cekatan Sinta mengambilnya dan menjauh dari hadapannya.
Si cowok mengerti, sudah waktunya dia pergi.
"Maaf kak", ujar anak SMU itu pada Sinta. Tanpa menunggu jawaban dia pun berlalu, berjalan menguntit di belakang cowok itu.

Sandiwara yang hebat, baru kali ini aku melihat tontonan sekelas sinetron, live streaming pula. Layaknya ada jeda iklan, mereka pun tersadar dalam dunia nyata. Mereka kaget melihatku, barista aneh dengan pengepel dan kain lap.
"Aduh kak, maafkan kami ya. Jadi berantakan semua. Biar kami bantu bersihin ya kak", ujar Sinta tulus.
"Eh, ga usah. Udah tugasku kok", jawabku. "Beneran nih kak? Maaf ya", ucap si rambut pendek.
"Ratna", ucap si kacamata sambil mengulurkan tangan padaku.
"Jeni", ujar si rambut cepak".
"Sinta", cewek idaman ku pun ikut bersuara. "Eh, Tio", balasku tersipu, "maaf, tanganku kotor bawa kain lap".
"Oh iya gapapa kak. Berhubung kita udah ngrepotin kakak, kita sekalian pesen kopi deh", ujar Ratna.
"Begitu lebih baik. Kebetulan hari ini ada promo beli 3 hanya 50 ribu. Mau itu apa yang lain?", tawarku.
"Boleh deh ambil yang itu aja", ujar Jeni. Aku bergegas membersihkan tumpahan kopi dan membuat pesanan, sementara mereka duduk mengitari meja di bawah payung kanopi di luar. Jumat itu hatiku berbunga-bunga, karena aku satu langkah mendekatinya.

Rabu galau ... .
Hari ini aku off, tapi rencanaku berantakan. Jauh-jauh hari ku rencanakan untuk healing pergi ke taman bunga yang lagi viral di kota sebelah dan berkunjung ke tempat Paman. Tapi temen kost ku mendadak bilang butuh pinjeman motor untuk menjenguk saudaranya yang kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit. Tiduran seharian di kost kayaknya bukan alternatif yang menyenangkan. Ah, lebih baik aku bawa novel dan kubaca di coffee shop ku. Sesekali datang sebagai tamu apa salahnya.

Sesampai di sana, aku heran melihat toko ku yang ramai. Rupanya ada rombongan wisata anak sekolah.
"Hi bro, rame ya? Masih bisa handle kan?", sapaku ke Candra.
"Santai aja, kan ada Daniel. Kamu jadi tamu aja hari ini, mau pesen apa?", tanyanya. "Latte aja deh", ucapku sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Semua meja terisi, hanya ada 1 kursi tersisa. Di meja luar di bawah payung kanopi. Ada seorang cewek sendirian menekuni laptopnya. Rambutnya yang dikucir kuda, bahkan dari belakang sini aku bisa tahu dia siapa. Sinta ... .

Ku beranikan diri menuju ke mejanya.
"Maaf, kursinya kosong?", tanyaku sok ramah.
"Eh iya ... Eh", dia terbengong melihatku, seakan tak tahu harus menjawab apa.
"Aku lagi off, hari ini sebagai tamu. Kalau kosong, boleh berbagi meja? Aku lihat ga ada kursi tersisa selain ini", ujarku panjang lebar.
"Oh, iya, silahkan", ujarnya masih setengah terbengong.
"Tenang aja, aku bawa novel, aku ga akan ganggu. Silahkan dilanjut tugasnya", jawabku.
"Terima kasih", ujarnya sambil tersenyum. Manis, semanis madu ... .

Aku tahu ini ga akan mudah, novel kesukaan di genggaman dan cewek cantik di depan mata, siapa yang akan kupilih?
Selembar dua lembar aku masih bisa mencoba berkonsentrasi membaca. Tapi lembar berikutnya aku bak gelap mata. Baris yang sama kubaca berulang-ulang, tapi tak juga kupahami alur ceritanya. Sementara isi kepalaku hanya dia. Rambut kuncir kuda itu sesekali tersibak tertiup angin. Sinar matahari yang menyembul di antara dedaunan dan menerpa wajahnya seakan membuat silau, dia begitu glowing mempesona. Kicau burung di atas dahan seakan ikut mengagumi kecantikannya. Jemari yang menari di atas keypad laptop layaknya harmoni, aroma tubuhnya yang harum mewangi bak minyak kasturi di negeri peri.

"Tumben sendiri", tanyaku keceplosan.
Dia menghentikan ketikannya, menatapku.
"Iya, lagi pengen sendiri aja", ujarnya sambil tersenyum.
"Oh, maaf, silahkan diteruskan", ucapku tulus.
Dia hanya tersenyum, sambil melanjutkan pekerjaannya.
Selembar dua lembar lagi ku berhasil fokus. Tapi lembar berikutnya benak ku melayang lagi ke dia. Seorang dewi secantik dia tak mungkin bisa sendiri. Dia laksana magnet, menyedot semua perhatian dunia. Aku melirik pengunjung yang lain di sekitar mejaku yang kebanyakan kaum Adam. Mereka memang masih ingusan, tapi aku tahu mata muda mereka yang jelalatan itu tak pernah lepas dari Sinta. Mendadak aku merasa seperti Sang Rama yang menjaga Dewi Sinta dari gangguan Rahwana di luar sana. Membayangkan itu membuat ku tersenyum-senyum sendiri. Aku, sang Rama? Kalau dia mah memang udah Sinta, dari namanya. Cowok kayak aku sepertinya ga layak bersanding dengannya, paling-paling jatuhnya jadi Hanoman, sang prajurit yang hanya ditugaskan untuk menjaga sang Puteri, bukan untuk memilikinya. Ah, duhai nasib ... .
Sinta menghentikan kembali ketikannya, melihatku tersenyum sendiri. Beruntung aku memegang novel, jadi aku bisa pura-pura tersenyum karena membaca cerita. Padahal ini novel tentang misteri pembunuhan. Nah lho, andai dia tahu ... .

"Sepertinya bukan asli sini ya, pendatang?", tanyaku lagi, keceplosan.
"Aduh, maaf, ga usah dijawab, aku ganggu lagi ya", lanjutku merasa bersalah".
"Iya, dari Aceh", ucapnya singkat sembari tersenyum.
Alamak, pantesan cantik. Bahkan mungkin dia blasteran, bukan asli Aceh.
"Ayahku Belanda, ibuku yang asli Aceh", ujarnya seakan bisa membaca pikiranku.
Hatiku mengkerut, seperti pungguk merindukan bulan. Di mataku, dia begitu sempurna.
"Maaf, kalau sekali lagi aku ganggu, kamu bisa menyuruhku pergi dari meja ini", ujarku menyesal.
"Its ok", ujarnya, masih dengan senyum madu nya.

Handphone ku berdering, kutaruh novelku di atas meja dan berdiri menjauh. Panggilan dari Mama.
"Siang Ma, iya gapapa. Ga jadi, motor dipake temen jenguk sodaranya. Ya besok-besok aja kalau dapat libur lagi. Ok Ma, love you", ujarku menutup telpon.
Ketika ku berpaling dan kembali ke meja, kulihat meja itu bersih. Sinta sudah membereskan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Eh, maaf, apa karena telponku?", tanyaku merasa bersalah.
"Bukan, emang udah selesai kok", senyumnya. Kali ini aku bisa melihat jelas lesung di sudut bibirnya, rupanya itu yang membuat senyumnya semanis madu, membiusku.
"Sudah mau pergi?", tanyaku was-was. "Ngabisin kopi dulu kali ya", jawabannya membuat hatiku meleleh.
"Boleh dong ngobrol", harapku cemas. "Yeah, tentu", jawabnya.
"Jadi, gimana cerita yang kemarin?", tanyaku kepo.
"The end alias tamat", ucapnya sambil mengangkat bahu.
"Gitu aja?", tanyaku menyelidik.
"Yah, gitu aja. No more drama", jawabnya enteng.
"Ga kapok?", kejarku.
"Biasa aja".
"Tapi tempat ini? Kamu ga trauma?"
"Ngapain?"
"Kali aja".
"Dia ga begitu istimewa buatku. Aku udah menduga bakal seperti ini. Aku sih yang salah, jatuh hati sama cowok yang ga setia".
"Jawabanmu enteng, khas cewek cantik", ujarku tanpa kusadari. Ingin kusumpal mulutku dengan kain pel.
"Maksudnya?", tanyanya serius.
"Eh, maksudku ... Kamu kan cantik, ga perlu takut sendiri. Pasti sudah banyak yang ngantri pengen jadi pacarmu"
"Kamu pikir pacaran ga perlu pake hati? Aku juga manusia lho, aku bisa sakit hati juga", ujarnya agak sewot.
Kamu bukan manusia, kamu seorang peri, teriak ku dalam hati.
"Eh, maaf ya klo aku salah omong".
Senyumnya kembali tersungging.
"Santai aja".
"Senyummu kayak kopi loreng"
Aduh, kenapa lagi bibir ini. Kayaknya besok aku harus pasang gembok dan grendel deh. Kenapa mendadak jadi ceriwis di hadapannya?
"Maksudnya?"
"Mengandung gula aren ... Ada manis-manisnya"
Rayuan murahan, hadew. Aku hanya bisa meringis seperti menahan sakit perut yang melilit.
Kali ini senyumnya agak lebar. Giginya yang tertata rapi berhias gingsul mendapat giliran memukauku.
"Aduh, maaf ya. Humor ala barista jomblo", ujarku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya ga gatal.
"Kamu jago nge gombal rupanya"
"Engga sih. Cuma berlaku buat cewek macan sepertimu aja".
"Macan?"
"Manis cantik"
"Sekarang aku ga percaya kalau kamu masih jomblo. Dengan gombalanmu, aku yakin bakal banyak cewek yang antri jadi pacarmu".
"Khusus kamu, ga usah antri deh, beneran. Malah aku kasih coffe latte gratis sebagai bonus"
Dia tergelak, matanya menyipit. Ingin ku sembunyi dari pandangannya. Kenapa aku tiba-tiba lebay begini. Tidak, aku seorang barista. Rayuan ku bukan dari ucapan, tapi dari lukisan kopiku.
Dia berdiri, hendak beranjak pergi.
"Ada rencana ke sini lagi ga?"
"Belum tau ya. Kenapa emang?"
"Kalau mau tau rayuanku, lain kali klo aku yang jaga, aku buatin latte. Aku jago ngelukis, akan ku buatin lukisan spesial buatmu".
"Beneran?"
"Kalau boong kamu bisa masukkan komplain di kotak pelanggan itu. Karirku yang jadi jaminannya", ucapku mendadak serius.
"Ok deh, deal".
"Tapi kamu perlu tahu jadwalku, hubungi nopeku kalau kamu ada waktu ke sini lagi".
"Mmm ... Kedengeran seperti modus".
"Kebaca juga ya? Hehehe".
"Ok ga masalah, nih nopeku", dia mengulurkan hpnya. Dengan semangat 45 aku menyimpan nopenya di hp ku.
"Aku cabut dulu ya. Makasih udah nemenin ngobrol".
"Sama-sama". Hati-hati di jalan hatiku, pekikku dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun