Wartawan memang manusia biasa, bisa salah tentunya, tapi kalau salahnya sampai kayak begini -menulis berita dengan yakinnya sambil mencantumkan nama jelas dan jabatan seseorang yang ternyata salah sama sekali- tentu kebangetan juga ya. Apalagi, berita itu kemudian disalin pula pada beberapa media online yang satu grup dengan media tersebut dan tentunya termuat juga oleh beberapa situs dan blog yang memang berisi kumpulan berita. Bisa dibayangkan efek bola saljunya. Banyak pembaca bisa tersesatkan dengan berita itu dan bahkan berkomentar negatif untuk sesuatu yang kemudian ternyata salah. Dan itu memang terjadi dan menimpa saya. Tragis dan menyedihkan bila kinerja media seperti ini.
Saya sendiri sudah melayangkan protes pada media bersangkutan dan berharap semoga cepat mendapatkan respons. Saya bahkan sudah menelepon sang wartawan. Tapi lucunya, si wartawan malah menawarinya wawancara ulang untuk dimuat pada keesokan harinya. "Lho, yang saya inginkan itu diralat, bukan diwawancarai ulang. Wartawan yang melakukan kesalahan, kok saya yang repot!" ujar saya dalam hati. Uh...
Kasus salah kutip nama ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua termasuk media massa untuk selalu berhati-hati dan meninggikan profesionalitas dalam berkarya.
Mengutip perkataan seorang kenalan, dalam bersikap kepada media kita memang membutuhkannya, menyenanginya dan perlu berdekatan dengannya secara kontinyu. Tapi "jangan beriman" kepada media artinya segala yang dibaca (juga dilihat dan didengar) dianggap sebagai ukuran kebenaran. Harus ada tabayun (klarifikasi) agar kita tidak salah menilai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H