Kalau di hari-hari lalu
Kami nuntut cuma bawa:
panji
spanduk
dan poster
Jangan kaget – kalau esok atau lusa
Atau ini hari juga
Kami bawa tekad baja!
Kami, r a k y a t!
(Dikutip dari buku Prahara Budaya, D.S Moeljanto - Taufiq Ismail)
*Sajak ini ditulis seorang penyair bernama Endo Suwartono di Jakarta pada September 1965, yang oleh harian sore Kebudayaan Baru dimuat di halaman depan pada edisi Rabu, 29 September 1965. Ibukota RI pada 29 September 1965 (sehari sebelum peristiwa G-30 S/PKI) dilanda suatu demonstrasi yang menuntut agar setan-setan kota ditembak mati di depan umum*
Kalau mau jujur, di masa Lekra-lah budaya kerakyatan itu menemukan "masa keemasan"-nya. Hidup dan sangat bergairah. Di sana kebudayaan diarahkan sepenuhnya pada pemihakan yang jelas-tegas kepada kaum yang tertindas. Apalagi konsepsi "seni untuk Rakyat" dalam konteks yang kongkrit itu didukung oleh koran progresif seperti Harian Rakjat. Jurnalisme yang terang-terangan memproklamasikan diri berpihak pada kaum tertindas dan menentang secara terbuka filsafat-filsafat yang meracuni kebudayaan masyarakat. Koran ini juga yang dengan sadar menyediakan pentas seluas-luasnya untuk menampung pikiran-pikiran kebudayaan seperti sajak, esei, cerita pendek, drama, dan sebagainya,yang barangkali tak dimiliki koran-koran lain untuk masanya.(Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis sejumlah buku)
**Saya tertarik menjadikan sajak ini sebagai catatan karena jelas menggambarkan pergulatan traumatis serta pilihan hidup-mati dalam sejarah pencaharian strategi kebudayaan bagi Indonesia modern. Saya dan orang muda lain yang tak ikut menyaksikan hiruk pikuk pada zaman itu. Betapa tulisan dapat membakar semangat kebersamaan, betapa semangat itu dapat meruntuhkan tembok egoisitas kaum ideologi totaliter yang memenjarakan kreatifitas budaya siapa saja yang tak seideologi dengannya. Bah terlalu luas jika ini bicara tentang merubah Indonesia, lha saya juga bukan superhero to ya hehee. Namun jika sedikit masuk ke dalam, ini bukan sekedar Indonesia, ini tentang diri sendiri. Saya punya khayalan suatu saat saya dan yang lainnya hidup tanpa ada kesenjangan. Bagaimana saya membentuk kepekaan diri setidaknya kepada tetangga yang sedang berduka di sebelah, atau mpok nini yang tengah berhutang bunga bank tinggi untuk usaha kecil-kecilan demi kelanjutan hidup. Lebih parahnya lagi gubuk mpok nini ditarik dari sisa seng rumah pak Agus, pejabat dengan gelembung balon gas di perutnya - dengan pagar 3 meter dibangun kokoh untuk menjaga nissan terano juga classic BMW biru tuanya . Ini budaya kesenjangan, memilukan. Saat saya menyantap ikan bakar rica-rica lalu si Hana dengan jagung rebus brani kuah? Atau jika si Lecon tidak sekolah lalu ngamen apa karena dia bodoh? Siapa yang bertanggung jawab jika dia dilahirkan dari keluarga sangat tidak berkecukupan? Mensejahterakan kehidupan rakyat, slogan yang asoy geboy untuk jualan dan teramat laris manis. Bukan jamannya lagi angkat senjata, tapi mari angkat hati. Saya.. dan disebelah saya, apa yang sudah saya lakukan? Cukup itu dulu, maka Indonesia akan sedikit lebih berperasaan. Lecon Alfa Privatinum, 28 Juni 2011