Jangan pernah ingkar janji!
Bingung. Adakah yang lebih hebat dari itu? Tapi, itulah yang aku hadapi saat ini. Setelah seminggu penuh mempersiapkan diri, pagi, siang, dan malam. Dengan semangat dan harapan akan memenangkan 'pertarungan'.Â
Tapi, ketika hari itu tiba, rekan kerja yang aku minta seminggu sebelumnya untuk membuat  desain buku dalam bentuk dummy atau contoh buku, tidak bisa menyelesaikannya.
Beberapa jam sebelum batas waktu, dia mengabari kalau pekerjaan belum selesai. Alasannya dia sakit selama lima hari ini. Aku kaget. Duh, kenapa tidak bilang dari awal. Kalau memang  tidak bisa mengerjakan, aku bisa meminta bantuan teman lainnya.
Di tengah kebingungan, aku tetap pergi. Menunda pertemuan, seperti saran temanku, tidak mungkin kulakukan. Aku siap perang. Tapi, ibarat ke sawah, aku tidak membawa cangkul. Di sawah, aku pasti hanya bengong-bengong. Kalau berperang, aku pergi dengan tangan kosong, tanpa senjata. Maka siap-siaplah aku dihabisi lawan. Aku bisa saja berkata ini-itu tapi pada akhirnya mereka akan bilang, ''Mana contoh desainnya''
Itulah yang sesungguhnya terjadi kemudian. ''Silahkan presentasikan proposal anda.'' Aku mempresentasikan proposal yang kusiapkan pagi, siang, dan malam selama seminggu ini.Â
Tak kurang puluhan kali perbaikan. Aku mengerjakannya dengan semangat karena berharap mendapat pekerjaan tersebut. Selain mengerjakan sesuatu yang aku suka, menulis, pekerjaan ini juga sangat menantang buatku. Membuatku akan banyak belajar.
Usai presentasi, aku sudah paham pertanyaan selanjutnya. Dummy, mana dummy-nya. Mereka ingin melihat bagaimana kelak perwajahan buku yang baru saja aku presentasikan kepada mereka, dengan berbusa-busa, Aku berterus-terang kalau tidak mempunyai hard copy, hanya soft copy yang dikirim sang rekan lima belas menit sebelum aku harus presentasi.
Ketika membukanya, sebenarnya aku sudah pasrah. Ini bukan yang aku inginkan. Apalagi mereka, pasti menginginkan yang lebih dari itu.Â
Dengan enggan, aku sampaikan enam halaman tersebut, yang sebenarnya aku juga enggan membukanya. Aku mempresentasikan sesuatu yang baru saja kulihat, dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah. Cuma enam halaman.
Selesai.
''Oh, it's finished,'' salah satu bertanya dengan suara mengambang.
''Yes.'' Suaraku tak kalah galaunya. Antara ada dan tiada. Mungkin bagi mereka seperti desiran angin.
''Yang satu lagi, apakah ada?''
''Tidak.''
Lalu sunyi.
Selanjutnya adalah kehampaan buatku. Aku sudah tahu babak selanjutnya. Tapi, aku masih berharap ada muzizat. Mereka melihat sesuatu yang positif dalam proposal yang aku sampaikan, yang aku siapkan pagi, siang, malam. Yang koreksinya sampai puluhan kali. Pleaseeeee..... Â
''Baiklah, ada yang mau ditanyakan lagi.''
''Tidak.''
''Kalau begitu cukup. Nanti hasilnya, paling lambat Senin atau Selasa.''
Aku tersenyum. Harus siap menghadapinya. Buatku, kata-kata terakhir hanya basa-basi, sekadar membuatku nyaman. Tapi, aku masih berharap, itu salah.
Di perjalanan pulang, aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Yang penting sudah usaha, hasilnya biar Tuhan yang mengatur. Oh iya, Tuhan memang yang mengatur. Tapi, tetap saja rasa kesal, sebal, dan marah masih bercokol di hatiku. Rasanya sia-sia perjuangan seminggu ini. Hancur karena teman yang tidak menepati janji.
But time will heal. Kataku.
Dan, sebuah japri masuk pagi ini, ''Maaf ya mbak, sakit saya kambuh lagi.''
''Ya, lupakan. Jangan dipikirkan, belum rezeki.''
Aku belajar melupakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H