Menjelang Pemilu Amerika Serikat November 2024, panggung politik negeri Paman Sam kembali memanas dengan pertarungan antara Joe Biden dan Donald Trump. Namun, kontestasi kali ini bukan sekadar pengulangan dari 2020 - ini adalah pertarungan yang menentukan arah demokrasi tertua di dunia modern dan tatanan global.
 Kasus hukum yang mendera Trump di berbagai negara bagian, alih-alih melemahkan, justru memperkuat basis pendukungnya. Fenomena ini menunjukkan polarisasi yang semakin menganga dalam masyarakat Amerika.Â
Survei terbaru menunjukkan bahwa 74% pendukung Trump masih meyakini narasi "pemilu curang 2020", sebuah indikator betapa dalam perpecahan di tengah masyarakat Amerika.
Isu-isu krusial seperti krisis di perbatasan selatan dengan Meksiko, inflasi yang masih tinggi, dan keterlibatan Amerika dalam konflik Ukraina-Rusia serta ketegangan di Timur Tengah, menjadi medan pertarungan narasi antara kedua kubu.Â
Di satu sisi, Biden mengedepankan pendekatan multilateral dan penguatan aliansi global. Di sisi lain, Trump dengan slogan "America First 2.0"-nya menjanjikan isolasionisme dan proteksionisme yang lebih keras.
Yang menarik, polarisasi ini berdampak jauh melampaui batas-batas Amerika. Sekutu-sekutu tradisional AS di Eropa dengan cemas mengamati kemungkinan kembalinya Trump. Komitmen Trump untuk mengevaluasi ulang peran Amerika dalam NATO dan sikapnya yang akomodatif terhadap Rusia menimbulkan kekhawatiran akan perubahan dramatis dalam arsitektur keamanan global.
Di kawasan Indo-Pasifik, negara-negara termasuk Indonesia harus melakukan kalkulasi ulang strategi geopolitik mereka. Pendekatan Trump yang keras terhadap Tiongkok mungkin menguntungkan dalam konteks persaingan ekonomi, tetapi kebijakan isolasionisnya bisa meninggalkan vakum kekuatan yang berbahaya di kawasan. Bagi Indonesia, situasi ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang.Â
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia harus memainkan peran lebih aktif dalam menciptakan stabilitas regional. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif harus dipertajam untuk menghadapi bipolaritas baru ini.
Beberapa skenario yang perlu diantisipasi Indonesia:
Pertama, potensi perubahan dramatis dalam rantai pasok global. Baik Trump maupun Biden mendorong "de-risking" dari Tiongkok, namun dengan pendekatan berbeda. Indonesia harus memposisikan diri sebagai alternatif tujuan investasi yang menarik.Â
Kedua, dinamika baru dalam konflik Laut Cina Selatan. Kekosongan kepemimpinan Amerika di kawasan bisa mendorong asertivitas lebih besar dari Tiongkok, menguji soliditas ASEAN.
Ketiga, perubahan dalam arsitektur perdagangan regional. Kemungkinan Amerika menarik diri dari inisiatif Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) di bawah Trump akan memaksa reorientasi strategi ekonomi kawasan.Â
Keempat, tantangan dalam isu perubahan iklim. Sikap skeptis Trump terhadap perubahan iklim bisa mengganggu komitmen global dalam transisi energi, sebuah agenda krusial bagi Indonesia yang mengetuai ASEAN tahun ini.
Bipolaritas politik Amerika bukanlah sekadar tontonan demokrasi dari belahan dunia lain. Ini adalah momen yang akan mendefinisikan ulang tatanan global untuk dekade mendatang.
 Bagi Indonesia, kemampuan membaca dinamika ini dan mengambil posisi strategis akan menentukan posisinya dalam konstelasi global yang baru. Yang pasti, terlepas dari siapa yang menang dalam pemilu Amerika 2024, dunia - dan Indonesia - harus siap menghadapi fase baru dalam politik global yang lebih kompleks dan tidak pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H