Sebelum menulis ini saya mengucapkan selamat pada Nessa Aqila sebagai Puteri Muslimah 2015. Tidak akan ada habisnya jika kita selalu mengikuti apa yang orang lain mau dari kita. Misal kita berjalan ke arah utara, orang bisa saja berkomentar mengapa tidak ke timur. Saat ke timur, mengapa tidak ke selatan. Saat ke selatan, komentar yang muncul mengapa tidak ke barat. Saat ke barat, mengapa tidak ke selatan. Ketika kita bergerak, orang bertanya mengapa ke sana. Saat diam, ditanya mengapa tidak bergerak. Di sini saya rasa tidak perlu saya tambahi dengan kisah orang bijak bersama anaknya dan seekor unta.
Bisa jadi itu adalah cara Tuhan agar telinga kita bisa tahan dengan berbagai macam suara manusia karena sebenarnya hanya orang yang tidak tahan komentar orang lain yang diberi cobaan seperti itu. Saya pernah melihat dua orang yang memiliki kondisi sama. Orang yang tidak suka dijadikan bahan pembicaraan justru orang sibuk membicarakannya baik di depan maupun di belakangnya. Sementara orang yang tidak peduli sama sekali dengan omongan orang, justru tidak ada orang yang membicarakannya baik di hadapannya apalagi di belakangnya. Melihat peristiwa ini sempat saya bertanya pada Tuhan, apa maksud semua itu? Mengapa saya diberi kesempatan melihat peristiwa itu?
Orang berhak berbicara dan berkomentar apalagi orang yang selalu mencari perbedaan. Saat kita berbaju hijau, ditanya mengapa tidak berbaju biru. Saat berbaju biru, ditanya mengapa tidak membawa kipas. Ketika sudah berbaju biru dan membawa kipas, bisa jadi juga akan ada pertanyaan lanjutan. Blah..blah..blah..Tidak akan ada habisnya. Hal sama terjadi juga pada Pemilihan Puteri Muslimah. Mohon maaf, saya baru tadi sore menonton tayang ulangnya karena belum sempat menonton live pada tanggal 13 Mei kemarin.
Pemilihan Puteri Muslimah baru muncul di media seiring dengan dilaksanakannya Miss World di Bali. Acara yang sebelumnya direncanakan berlangsung di Sentul Convention Center itu tempat pelaksanaannya dipindahkan ke Bali karena faktor keamanan yaitu banyaknya pihak yang menentang acara tersebut. Berbagai komentar bermunculan dan format acara Miss World pun agak diubah agar sesuai dengan sosiokultural bangsa Indonesia. Apakah setelah permintaan agak dituruti maka kondisi akan lebih tenang? Tidak juga.
Ketika di ajang kontes perwakilan dari Aceh tidak memakai penutup kepala atau hijab, berbagai cibiran berdatangan. Ketika di tahun berikutnya, peserta dari Aceh memakai hijab, ada pula komentar tentang mengapa ia ikut ajang seperti itu padahal memakai hijab. Tahun berikutnya ketika peserta Aceh tidak memakai hijab, ada lagi komentar bahwa lebih baik yang peserta kemarin saja. Ia memakai hijab, ciri khas Aceh. Ketika yang mengemuka hanya Puteri Indonesia, Miss Indonesia, Miss Universe, dan Miss World, ditanyakan itu apa manfaatnya buat kita orang Indonesia. Disana hanya diajari cara berbikini. Setelah saat ini ada Pemilihan Puteri Muslimah, apakah komentar terhenti? Beberapa pihak bersyukur ada ajang itu karena konsep pelaksanannya tidak melulu fisik namun ABC yaitu Akhlaq, Bakat, dan Cantik. Beberapa pihak bersyukur namun tidak sedikit pula yang mengatakan mengapa sudah berhijab tapi masih ingin seperti itu.
Lalu apakah hanya kita orang Indonesia saja yang 'ditaqdirkan' mudah berkomentar? Alhamdulillah tidak. Komentar miring akan selalu mengikuti suatu peristiwa manakala tidak sesuai dengan harapan pihak tertentu. Anda tahu Leila Lopes? Miss Angola itu banyak membuat orang berkomentar yang pada intinya adalah kelayakannya menjadi Miss Universe. Paket lengkap yang dimiliki oleh Paulina Vega, Miss Universe tahun ini pun tidak membuatnya luput dari komentar miring karena dinilai bahwa Miss Jamaica lebih layak.
Melihat ini semua mari kita lihat kembali apa yang pernah dikatakan oleh Madame Chiang Kai-Shek:
" Jika masa lalu mengajarkan kita sesuatu, itu ialah bahwa tiap sebab membawa akibat, tiap tindakan ada akibatnya. Kita orang Tionghoa mempunyai pepatah : ” Jika seseorang menanam semangka, ia akan memperoleh semangka; Jika ia menabur buncis , ia akan mendapatkan buncis.” Dan ini benar untuk kehidupan tiap orang ; Kebaikan melahirkan kebaikan, dan keburukan membawa keburukan. Memang benar matahari menyinari baik si malaikat maupun orang yang berdosa, dan seringkali seolah-olah orang jahat menjadi makmur. Tetapi kita dapat mengatakan dengan pasti bahwa, baik untuk perorangan maupun untuk bangsa, kemakmuran yang jahat merupakan suatu ilusi, karena, tak henti-hentinya kehidupan ini mengadakan catatan tentang kita semua.
Pada akhirnya kita adalah merupakan jumlah dari tindakan-tindakan kita. Watak tidak bisa dipalsukan, juga tidak bisa dipakai seolah-olah pakaian untuk memenuhi selera pada saat itu. Seperti tanda-tanda pada kayu yang tergores sampai hati pohon itu, watak memerlukan waktu dan asuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Maka demikian pula, tiap hari kita menuliskan nasib kita sendiri karena tanpa dapat ditawar…..Kita menjadi apa yang kita lakukan."
Kita adalah apa yang kita lakukan. Lalu apakah berkomentar adalah tidak baik? Baik bahkan itu sangat perlu untuk kemungkinan koreksi. Saling mengingatkan. Namun hanya untuk yang perlu dan porsi secukupnya saja. Saat kita berkomentar maka kita adalah memberi dan pada saat lain maka kita juga siap menerima komentar dari pihak lain. Ajang kontes kecantikan ini hanya salah satu contoh bahwa kebebasan berpendapat selain saat ini memiliki porsi namun juga memiliki batas. Tiap hari kita menuliskan nasib kita sendiri karena tanpa ditawar kita menjadi apa yang kita lakukan. Saya kira saya tidak perlu menuliskan peristiwa yang dialami orang bijak bersama satu anaknya dan seekor unta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H