Sam membawa perlengkapan yang kemungkinan besar kami butuhkan. Kali ini aku dan Sam tidak menaiki kuda melainkan mobil.
"Posisi kita tadi malam telah mereka ketahui, jadi lebih baik kita mencari tempat lain untuk mengintai. Ini memang agak memutar." Kata Sam.
"Kita akan ke desa sebelah. Mobil ini akan kita titipkan di rumah guru konseling di sekolah yang didirikan oleh orang tuaku. Beliau bernama Ibu Patricia. Baru kemudian kita berjalan kaki ke atas bukit. Itu tidak jauh di belakang rumah rumah beliau. Itu merupakan bukit tertinggi dan lebih dekat ke posisi tadi malam." Sambungnya.
"Itu merupakan posisi terbaik untuk mengintai, tapi apakah juga posisi terbaik untuk memulai perjalanan masuk ke dalam hutan sana ?" Tanyaku.
"Aku kurang begitu tahu." Jawab Sam.
"Kau bawa teropong juga, kan ?" Tanyaku lagi.
"Ya."
"Bagus. Jadi kita bisa memperkirakan jurang maupun tebing yang harus kita hindari untuk menghemat tenaga. Umm, Sam...."
" Ya ?"
"Bisa jadi tidak ada satu minggu lagi aku di Wacola ini."
"Apa ? Apa yang terjadi ?" Sam tampak terkejut . Ia mendadak menginjak rem dan menghentikan laju mobilnya lalu menatapku dengan mata menyelidik. Aku yakin semua wanita akan langsung jatuh cinta ditatapnya demikian namun entahlah aku lebih menganggapnya sebagai sahabat atau paling dekat adalah sebagai saudara.
"Ada yang tiba-tiba membuatmu merasa harus pergi ?"
"Entahlah, saat di rumahmu nanti aku ingin membuka internet. Mungkin ada sebab yang bisa menjelaskan perasaanku ini. Sudah satu bulan lebih aku tidak berkomunikasi dengan orang-orang Lanzones."
"Ya. Tapi.....apakah itu benar-benar tidak ada hubungannya dengan rahang kananmu yang sedikit berbeda itu ?"
"Oh, ini hanya terbentur benda keras di kamarmu. Maklum semalam mengantuk sekali."
"Aku harap itu bukan karena pukulan keras dari tangan Janet."
"He...he....Justru Janet yang memakaikan selimut yang lupa aku pakai. Ayo, jalan lagi !"
*************
Rumah Ibu Patricia sangat asri. Kedatangan kami disambut oleh tiga anaknya yang langsung berlari ke arah Sam. Sam terlihat akrab sekali dengan mereka. Hanya beberapa menit kami langsung minta diri untuk naik ke atas bukit di belakang rumah Beliau. Melalui teropong yang Sam bawa, dari atas pohon kami bisa memperkirakan jalur-jalur alternatif yang bisa dilewati menuju sasaran. Tidak ada dua jam kami menuruni bukit, kembali ke rumah Ibu Patricia dan berpamitan untuk kembali ke Wacola.
"Sam, aku cuma bisa membantu membuatkan peta ini. Kau dengan orang-orang Wacola pasti bisa menyelamatkan ayah Janet. Ben sangat mengerti hutan. Ia pasti akan sangat membantu. Teman-temannya bisa jadi juga begitu."Â Sam masih konsentrasi menyetir mobilnya namun aku yakin ia masih memperhatikan kata-kataku.
Sampai di Wacola. Di kamar Sam, aku terkejut melihat kondisi Janet. Badannya panas dan mengigau meminta dibawa ke rumah Ibu Helena.Roma berada di sisi tempat tidur Sam.
"Siapa Ibu Helena, Sam ?" Tanyaku.
"Guru konseling saat Janet masih sekolah dulu. Setelah suaminya meninggal Beliau minta mengundurkan diri sebagai pengajar dan memilih menjadi penjaga rumah ibadah. Dulu beliau sangat dekat dengan Janet."
****************
Sebenarnya ini adalah perpisahan yang sangat menyedihkan karena Janet masih tergolek di salah satu kamar di rumah Ibu Helena yang begitu penuh kasih sayang merawatnya. Kepada masyarakat desa Wacola aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan bahwa dunia kerja telah kembali memanggilku. Meski keluarga Sam mengetahui bukan itu yang terjadi. Aku hanya merasa sudah saatnya masalah Joana, Pedro, dan Janet diselesaikan oleh orang-orang Wacola sendiri. Di telinga Janet aku hanya bisa berbisik," Semoga kau lekas sembuh, Janet. Rembulan itu masih milikmu. Lain waktu kita pasti masih bisa berjumpa." Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir Janet selain air mata yang mengalir deras dari sudut matanya yang masih terpejam.
Tidak ada pesan khusus juga untuk Sam, selain mengatakan," Pria selalu memiliki jiwa misterius tersendiri kapan saat ia akan mengakhiri masa sendirinya. Namun jika kau merasa sudah saatnya untuk memiliki pendamping hidup. Janetlah perempuan itu. Cintanya kepadamu lebih besar dari yang kau kira selama ini."
***********************
Langkahku menuju mobil yang akan mengantarkan aku ke stasiun terhenti oleh teriakan Ben.
"Marie......! Hai, Sam ! Minggir dulu. Aku akan menunjukkan sesuatu...!" Ben tampak mengacung-acungkan beberapa lembar kertas.
"Apa ?" Heran sekali melihat tingkah Ben.
"Masuk rumah dulu....." Aku dan Sam mengikutinya dari belakang.
"Lihat foto-foto ini. Aku dan teman-temanku di klub camping mendapatkan ini semua." Kata Ben.OMG ! Foto-foto hal yang tidak pantas dilakukan oleh Joana dan Pedro.
"Hugo pasti akan menceraikan Joana jika mengetahui hal ini...." Kata Ben lagi.
"Wow, wow,wow....Aku harus kembali bekerja." Kataku.
"Bekerja ? Bukankah kau akan ke Lanzones terlebih dulu ?" Tanya Sam.
"Ke kota dulu karena baru lusa Neil dan Mira akan ke kota. Kita akan pulang bersama ke Lanzones."
"Di kota kau akan tinggal dimana ?" Tanya Ben.
"Hotel Pink Ribbon. Di dekat toko tempat dulu aku bekerja. Oh, mudah-mudahan masih ada lowongan kerja buatku di toko buku itu."
"Kau akan selalu diharapkan oleh mereka, Marie.." Kata Ben.
"Ya.Semoga."
"Kalau begitu, kau naiklah Kuupe. Aku naik kudaku yang baru. Kita berpacu ke stasiun."
"Mobil Sam ?"
"Ah, sudahlah...Lupakan !" Kata Ben sambil mengibaskan tangannya. Sam hanya diam melihat ulah saudara laki-lakinya itu.
"Bagaimana, Marie ?"
"Barang-barangku dibawa ke stasiun menggunakan mobil Sam. Sementara aku akan naik Kuupe.Setuju ?" Sam dan Ben mengiyakan permintaanku bersama-sama.
God, justru moment sedikit gila inilah yang sebenarnya berat untuk aku lepaskan dengan keluarga Sam. Mereka telah menjadi keluargaku yang baru di Wacola. Nenek Pome pun telah menjadi nenekku di Wacola.Namun hidup harus terus berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H