Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pernikahan Gerhana (11)

1 September 2012   06:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:03 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Ben, maaf. Tasmu aku bawa". Kataku dalam hati. Secara detail aku memang tidak tahu apa saja yang berada di dalam tas milik Ben ini namun aku yakin bukan pakaian yang ada di dalamnya. Aku berjanji hanya jika keadaan darurat maka tas ransel ini akan aku buka saat di hutan sana.

"Janet, sudah ?" tanyaku.

"Ya, ini tinggal sedikit". Jawab Janet. Aku benar-benar tidak bisa menjauhkan Janet dari botol minuman yang seringkali membuatnya berbicara ngelantur. Untung saja ia kali ini hanya membawa beberapa. Kepada Nenek Pome kami berpamitan dengan hanya mengatakan," Akan ada acara lagi". Nenek Pome masih memiringkan kepalanya memikirkan kalimat kami ketika kami meninggalkannya di kamar dengan rajutannya. Apa boleh buat.

"Kuupe, nanti atau besok Ben akan menjemputmu. Kamu tenang saja, ya..." Aku tepuk punggung Kuupe yang aku tambatkan di samping rumah dengan pelan. Kuupe meringkik dengan gelisah.

"Ayo, Janet !"

"Marie, kau yakin tidak membutuhkan Kuupe ketika masuk hutan sana ?" Tanya Janet.

"Kita belum tahu kondisi disana. Lagi pula itu justru akan dapat menarik perhatian orang-orang  Pedro.Ngomong-ngomong, kau pernah masuk jauh ke dalam sana ?"

"Belum pernah. Hanya sampai di bukit pertama dulu itu".

"Kau siap apapun yang akan terjadi di dalam sana, Janet ?" tanyaku.

"Demi ayahku. Jika harus menggantikan posisi ayahku untuk mati di dalam hutan sana pun aku siap."

"Ssst...kita masuk ke hutan bukan untuk menentukan kematian seseorang, Janet...." Kataku. Aku lihat mata Janet memerah.

"Jika memang hanya itu pilihan yang ada. Mati pun aku mau". Kata Janet lagi.

"Ah, sudahlah. Ayo, kita jalan lebih cepat. Hutan biasanya lebih cepat menjadi gelap".

"Apakah kita akan bermalam di sana, Marie ?" Tanya Janet.

"Mau dimana lagi ?"

"Di.....?"

"Di atas pohon..."

"Hah ?"

"Ya. Kecuali kalau ada penginapan, hotel, atau villa disana..." Kataku bercanda.

"Memangnya ada di sana ?"

"Kau kan yang orang Wacola. Di dalam hutan sana ada atau tidak ?"

"He he..tidak tahu juga. Cuma tidur di atas pohon menurutku cukup mengerikan." kata Janet.

"Jika hanya itu pilihan yang ada ?" Mendengar kata-kataku spontan mulut Janet menggumamkan do'a-do'a. Baru kali ini aku melihatnya demikian.

**********************

Matahari sedikit bergeser ke arah barat. Aku sandarkan punggungku dan bagian belakang kepalaku ke batu besar tempat Janet murka dengan sikap orang-orang desa beberapa bulan lalu. Janet sendiri telah merebahkan tubuhnya di atas rerumputan dengan mata terpejam. Sesantai apapun acara berlibur, itu memang tetap membutuhkan energi ekstra.Inilah akumulasi sisa-sisa kelelahan itu meski terus terang hal paling melelahkan adalah justru memikirkan bagaimana keadaan ayah Janet saat ini.

"Seharusnya tidak perlu kau bawa tas ransel Ben yang sekarang ada di dalam tasmu itu, Marie.." Kata Janet.

"Kita tidak mungkin masuk hutan dengan hanya berbekal beberapa potong keripik kentang, cokelat, dan minuman seperti yang ada di dalam tasmu itu, Janet..." kataku.

"Tapi isi tas milik Ben sepertinya juga bukan makanan yang lebih enak..." Kata Janet lagi sambil tangannya meraih tasku dan mengeluarkan tas milik Ben yang aku masukkan ke dalamnya bersama dengan barang-barang milikku.

"Justru itu...."

"Boleh aku buka ?"

"Jangan ! Itu bukan punya kita..."

"Kamu aneh, Marie....Kalau kau tahu ini bukan milik kita, mengapa kau bawa juga ?"

"Perlengkapan-perlengkapan yang Ben gunakan saat camping di Zeamays aku punya semua, tapi di Lanzones. Mudah-mudahan yang kita butuhkan suatu saat ada di dalam tas itu. Oh, aku merasa bersalah kepada Ben tapi bagaimana lagi ?"

"Marie...Marie....Baru kali ini aku melihatmu menjadi aneh.."

"Kalau aku sering melihatmu menjadi aneh, Janet" Janet terkekeh pelan dengan ucapanku baru saja.

"Oh ya, nanti malam kita bermalam disini saja ya..." kataku lagi.

"Di tempat terbuka seperti ini maksudmu ?"

"Ya.Eh,  aku kesana sebentar..." Kataku kepada Janet. Aku sedikit berlari menuju pohon tempat Sam dulu mengamati aku dan Janet. Meskipun pasti tidak akan nyenyak tidur di alam terbuka namun aku harus memastikan bahwa tempat ini aman untuk kami tinggali. Dari atas pohon aku melihat sebuah anak sungai mengalir tidak jauh dari balik bukit ini. Sebuah harapan untuk dapat menyusuri hutan jauh ke dalam sana bersama dengan gadis  pribumi yang justru belum pernah memasukinya

****************

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun