Mohon tunggu...
Aini Lutfiyah
Aini Lutfiyah Mohon Tunggu... lainnya -

Less is More

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ocean of Love - Don't Tell How Big Your Problems Are But Tell The Problem How Big Your God Is

9 Agustus 2011   05:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku bisa dikatakan boleh untuk tidak datang ke sekolah karena sedang ada para mahasiswi jurusan PGTK yangmagang. Aku sendiri baru mendapat status sebagai guru taman kanak-kanak, apa bedanya aku dengan para peserta magang itu jika aku datang sementara mereka sangat membutuhkan bimbingan dari guru yang lebih senior. Lebih tepatnya mereka berhak ditangani oleh para guru yang telah paham luar dalam tentang pendidikan usia dini, bukan dari Annemarie Alchemy. Meski begitu aku sudah mengatakan pada Mustapha bahwa aku tetap akan datang ke sekolah walaupun itu tidak setiap hari. Tidak perlu ditemani oleh Mustapha. Aku bisa kesana menggunakan angkutan umum. Kesampingkan dulu pengapnya angkutan itu, toh pulangnya nanti aku bisa saja menggunakan taxi yang lebih nyaman.Tidak masalah pula jika pulangpun menggunakan angkutan umum lagi, melihat situasi saja. Mustapha sendiri seperti biasa sibuk dengan berbagai aktivitasnya yang memang sering kali tidak Ia ceritakan padaku namun Ia mempersilahkan aku melihat, maupun membaca semua berkas yang ada di kamarnya. Dan memang aku lebih nyaman seperti itu, tinggal kalau aku belum paham mengenai kegiatan yang ada baru aku bisa menanyakan padanya.

Siang ini Phoebe dan Cathy sedang di ruang tata usaha Universitas. Aku menunggu mereka di lantai dasar ini sambil melihat-lihat para mahasiswa yang lalu lalang maupun yang hilir mudik di koridor kampus. Ingatan saat aku akan berangkat ke Yogyakarta setelah masa pemulihan kembali muncul.

Sebenarnya Ayah akan mengantarku ke Yogyakarta ini namun Mustapha dan adiknya, Sameera datang.

“Tidak apa-apa kalau kalian bertiga, jika hanya berdua lebih baik bersama dengan Ayah “. Kata Ayah pada kami.

Mustapha sendiri sebagaimana aku, ia merasa harus berhenti di jembatan sungai di desaku, sungai yang menemani masa kecilku bersama teman-teman. Ia terlihat membungkuk membaca nama sungai itu yang sedikit tertutup oleh lumut.

‘ Ann, dimana sungai ini bermuara ?” tanya Mustapha.

“ Shinevalley. Memangnya ada apa ?” tanyaku tidak mengerti.

“ Tidak apa-apa. Hanya merasa sayang saja kalau ada sungai yang tidak bermuara. Segala sesuatu harus memiliki ending, entah menyenangkan atau menyedihkan”. Jawab Mustapha.

“ Kamu bicara tentang sungai ini atau hal lain sebenarnya ?” Dahiku berkerut. Ekor mataku melirik Sameera yang masih asyik dengan kameranya mengabadikan pemandangan di sekitar sungai ini. Pagi itu langit memang cerah dan memamerkan keindahan warnanya pada kami.

“ Ayo, Kak !” Sameera menghampiri kami.

“ Sudah ?” Tanya Mustapha dan Sameera pun mengangguk.

“ Kak Ann, aku dapat gambar-gambar yang bagus. Nanti boleh dilihat dech…” Sameera tersenyum lebar ke arahku. Oh, ia memang sebenarnya bukan gadis pemalu, hanya memang butuh waktu agar Ia merasa bahwa kita bukan orang yang salah untuk menjadi teman bicaranya. Mustapha memandang ke arahku.

“ Kita bicarakan lain waktu tentang hal tadi, OK ? “ Tanya Mustapha.

“ OK. Tentang sungai, kan ?” Mustapha tersenyum lebar mendengar jawaban yang sekaligus menjadi pertanyaan untuknya. Memang sedikit ada perasaan berdesir jauh didalam hatiku apalagi tentang kata ending. Tuhan, aku dan Mustapha baru menapaki jejak bersama. Apakah Engkau tidak melihat kebahagiaan kami ini ? Aku menghela nafasku. Sedikit sesak. Mustapha agaknya menyadari perubahan sikapku. Tiba-tiba wajahnya ia sorongkan dekat ke wajah kami sambil menggeram dan hidung dikerutkan. Sameera dan aku menjerit.

“ Kaget Kakak, tauuuukkkkk………..?” Sameera memukul lengan Kakaknya. Mustapha tersenyum ke arahku. Ya, aku suka caranya menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja. Contohnya dengan cara dia menggoda kami ketika aku menjadi terdiam memikirkan kata-katanya tadi. Hatiku kembali berbicara. Tuhan, aku mencintainya.

**********

“ Hai, Ann !” Sebuah tangan memegang pundakku. Aku tersentak.

“ Maaf, mengagetkan. Lagi pula….ummm, kamu melamun, ya ? Huh, siang begini. Banyak orang pula “. Viona menarik tanganku untuk duduk di lantai dengan kaki menjuntai di antara bunga-bunga yang di tanam di halaman kampus ini.

“ Kamu nggak ada pekerjaan lain apa ? Mengagetkan orang”. Kataku ketus. Terus terang sikapnya tadi benar-benar memancing emosiku.

“ Sorry, Ann. Aku tidak mau melihat air mata perempuan terjatuh didepan mataku, jadisikapku tadi semata-mata hanya untuk menyelamatkanmu, ha ha ha!”

“ Sok tahu !”

“ Tapi memang betul, kan?” Tanya Viona tidak mau kalah.

“Betul atau salah itu bukan urusanmu, aku pikir”. Aku betul-betul masih marah padanya.

“ Ya, dech….Maafkan aku, Ann “. Tangan Viona diulurkan menjabat tanganku. Namun tiba-tiba aku melihat senyum yang dipaksakan dari wajahnya. Viona tidak memandang ke arahku namun pada orang yang melintas di belakangku. Reflek aku menoleh ke belakang. Aku hanya melihat punggung laki-laki yang menggandeng seorang perempuan belia disebelahnya itu.Viona masih memandangnya. Tiba-tiba laki-laki itu menoleh kearah kami dengan tangan melambai, goodbye. Laki-laki itu mahasiswa satu angkatan denganku namun Ia tidak satu kelas denganku, Ia satu kelas dengan Viona. Aku tahu nama laki-laki itu adalah Saleem. Setelah mereka menghilang dari pandangan kami Viona seperti sibuk mengatur irama detak jantungnya. Ia berusaha untuk tenang. Aku tepuk pundaknya perlahan. Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum.

“ Seharusnya aku menangis melihat mereka tadi. Perempuan belia tadi tiba-tiba datang di tengah-tengah hubungan kami dan aku harus merelakan Saleem “. Bibir Viona bergetar.

“ Mengapa Engkau tidak mempertahankannya ?” Tanyaku. Kepala Viona tertunduk. Ia tampaknya tengah memejamkan matanya. Tak lama kemudian ia memandangku kembali.

“ Karena aku pun tidak yakin bahwa Saleem yang kelak akan menjadi pendamping hidupku. Mamaku menikah dengan Papa yang sebelumnya dikira mencintai teman Mama. Jalanku dengan Saleem tidak seperti itu. Jadi aku tidak yakin “. Viona sudah dapat mengendalikan perasaannya dan suaranya sudah kembali tenang.

“ Kehidupan orang tua kita berbeda dengan kita, Vio. Mereka hidup di zaman mereka sedangkan kita di zaman kita. Anak kita kelak akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Mengapa kamu berpikiran harus sama dengan mereka ?” tanyaku.

“ Ya, aku tahu itu namun aku lebih mengetahui jalan hidup orang tuaku daripada orang lain. Aku lahir dari dua bersaudara. Adikku laki-laki. Aku pikir tidak ada contoh lain selain orang tuaku “.

“ Kamu yakin akan mendapatkan orang yang tepat dengan jalan yang kamu ambil itu ?”

“ Tentu ! Di kampus ini dan kami akan menikah sebelum kami wisuda “.

“ Hah ? Baru saja ditinggalkan Saleem, sudah optimis akan menikah sebelum wisuda. Sudah menemukan yang baru ? ha ha…”

“ Belum,sich…Mama Papaku menikah sebelum wisuda. Don’t tell how big your problems are but tell your problem how big your God is…!!!”. Tangan Viona mengepal menunjukkan semangatnya. Aku tertawa terbahak-bahak melihat sikapnya.

“ OK, dech. Good luck. Jangan lupa do’akan aku dan Mustapha juga “ Kataku dengan mimik wajah yang aku buat penuh pengharapan.

“ Amin “. Seru Viona. Beberapa mahasiswa yang melintas tampak menatap kami tidak mengerti. Security di sudut sana mengerutkan keningnya sambil memandang kami.

“ Oh ya, Ann. Aku mendapat brosur ini kemarin. Sebuah organisasi wanita akan mengadakan kerja sama dengan kampus kita dengan mendirikan sebuah asrama binaan. Bagaimana jika kita masuk sana saja. Aku sudah telepon Mama Papaku. Mereka setuju “. Tangan Viona mencari sesuatu di dalam tasnya. Setelah ditemukan kertas itu diberikan satu untukku.

“ Ini nomer teleponku. Biar aku ada teman, Ann”. Kata Viona merajuk.

“ Aku pikir-pikir dulu, ya. Haha !” Kataku sambil aku membaca brosur yang Viona berikan buatku.

“ Eh, Vio. Di asrama kita ada perkuliahan juga ? Bagaimana dengan kuliah kita ? Terus kegiatanmu di paduan suara kampus bagaimana ? “

“ Ah, bisa diatur itu. Paling kalau kita melanggar peraturan dihukum. Aku dulu waktu sekolah menengah juga masuk asrama. Paduan Suara ? kan mereka kerja sama dengan kampus kita, mereka pasti tahu kita masuk pada kegiatan apa. Cuma kalau kegiatanmu dengan Mustapha tentu mereka tidak akan mau mengerti, ha ha ha!”

“ Iya, ya. Aku tidak bisa mengajar taman kanak-kanak lagi karena pasti sibuk sekali. Aku tidak mau bertaruh dengan daya tahan fisikku seandainya waktu pun bisa dikompromikan”.

“ Ann !” Tiba-tiba Vio kembali membuatku tersentak.

“ Vio, kamu apa-apaan sih…” Kataku sambil terperanjat. Vio tampak nyengir bersalah.

“ Sorry, he he he…..Phoebe katanya mau menikah, undangannya jangan lupa “.

“Wah, kalau itu aku tidak bisa membantu karena katanyapesta diadakan di hotel yang aku belum tahu dimana dengan tamu undangan para rekan bisnis Ayahnya saja “.

“ Ya, udah dech….Tidak menerima kado berarti”. Wajah Viona agak kecewa aku lihat.

“ Bukan begitu, Vio. Cukup do’anya saja kata Phoebe “.

“ Tapi kamu dan Cathy pasti datang, kan ?” Tanya Viona.

“ Jelas. Kita sudah seperti saudara dan kita kan masuk panitia “. Aduh, aku jadi ingat mereka berdua, kok belum datang juga. Jangan-jangan mereka sudah menghubungiku tadi. Aku ambil handphone di tasku. Nah, betul kan….

Ann, sorry tadi kita sekalian ngobrol dengan dosen wali. Kamu masih disitu?

“ Sebentar, Vio….” Aku langsung menghubungi nomor Cathy namun Vio langsung beranjak dan menepuk punggung tanganku. Duluan, katanya…Aku mengangguk sambil menunggu teleponku tersambung. Kok lama sekali. Aku lihat Viona sudah bersama dengan para sahabat Paduan Suara Universitas.

“ Hallo, Ann…” telepon sudah tersambung.

“ Ya, sorry…Pesan baru aku buka.Kalian dimana ?”

“ Aduh, kita yang musti minta maaf nih, Ann. Tadi kita ngobrol banyak dengan Dosen Wali sampai perut lapar banget “.

“ Terus sekarang kalian dimana ?”

“ He eh, sorry….Lagi makan “.

“ Apa ? Apa kamu kira aku tidak lapar, Cat ? Dasar kucing !!!”

“Ha ha ha! Sudah, ngga usah marah-marah…Nyusul saja kesini, lantai dua depan perpus. Nanti keburu juice-nya habis lho..” Suara Cathy diganti dengan suara Phoebe dan telepon langsung ditutup. Tak sabar aku ingin menjentik hidung mereka berdua. Awas ! Namun aku merasa ada sesosok tubuh jangkung mengawasi gerakku. Sosok yang ternyata satu tahun lebih kemudianakan terus menemaniku dalam diam dan membuat hidupku terasa begitu berarti.

*******************************************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun