Laut China Selatan merupakan wilayah strategis yang kaya akan sumber daya alam, menjadikannya salah satu kawasan dengan potensi konflik paling tinggi di dunia. Klaim tumpang tindih oleh berbagai negara, termasuk China, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, telah meningkatkan ketegangan di kawasan ini. Bagi Indonesia, meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim wilayah di Laut China Selatan, ancaman terhadap kedaulatan Indonesia tetap nyata, terutama terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, serta pengelolaan sumber daya alam, baik hayati maupun non-hayati, di perairan sejauh 200 mil laut dari garis pangkal. Hal ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang menjadi dasar hukum internasional bagi penetapan wilayah maritim termasuk ZEE.
Namun, klaim sepihak China terhadap hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan "nine-dash line" atau sembilan garis putus-putus seringkali tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di sekitar Natuna. Meskipun keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016 menolak klaim historis China, negara tersebut tetap menunjukkan kehadiran militernya di wilayah tersebut, seringkali memasuki ZEE Indonesia dan mengganggu aktivitas nelayan serta operasi eksplorasi sumber daya alam.
Konflik ini menimbulkan beberapa ancaman serius terhadap kedaulatan Indonesia. Pertama, pelanggaran wilayah maritim dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam menjaga kedaulatan nasional. Kedua, potensi eskalasi militer di kawasan ini bisa mengganggu stabilitas regional dan mengancam keamanan nasional. Ketiga, gangguan terhadap aktivitas ekonomi di ZEE Indonesia dapat berdampak negatif terhadap perekonomian, khususnya sektor perikanan dan energi.
1. Sikap Indonesia dalam Menghadapi Ancaman:
Untuk menghadapi ancaman ini, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah strategis. Penguatan kehadiran militer di Natuna menjadi salah satu prioritas utama. TNI Angkatan Laut secara rutin melakukan patroli dan latihan militer di kawasan ini untuk menunjukkan kedaulatan dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi setiap ancaman. Selain itu, pemerintah juga memperkuat diplomasi maritim melalui kerja sama dengan negara-negara ASEAN dan kekuatan global lainnya untuk menekan China agar menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
2. Penguatan Pengawasan dan Teknologi:
Di sisi lain, Indonesia perlu terus meningkatkan kapasitas dan teknologi pengawasan maritim. Penggunaan teknologi satelit dan drone dapat membantu dalam pemantauan pergerakan kapal asing di ZEE Indonesia, sehingga memungkinkan respons cepat terhadap setiap pelanggaran. Selain itu, perlu adanya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi nelayan lokal yang sering menjadi korban dari ketegangan ini. Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas Bakamla dan badan keamanan maritim lainnya dengan peralatan dan pelatihan yang memadai.
3. Perkuat Kerangka Hukum Domestik:
Lebih lanjut, pemerintah juga perlu memperkuat kerangka hukum domestik yang mengatur perlindungan kedaulatan maritim. Salah satu upayanya adalah dengan merevisi dan memperbarui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia agar lebih adaptif terhadap tantangan keamanan maritim modern. Selain itu, koordinasi antarlembaga, seperti antara Kementerian Pertahanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Keamanan Laut (Bakamla), harus diperkuat untuk memastikan respons terpadu terhadap setiap ancaman.
4. Diplomasi dan Kerjasama Internasional:
Diplomasi yang efektif juga menjadi kunci dalam menghadapi ancaman di Laut China Selatan. Indonesia perlu terus mendorong penyelesaian sengketa secara damai melalui mekanisme internasional, seperti ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kerja sama dengan negara-negara sahabat dalam bidang keamanan maritim, seperti latihan bersama dan pertukaran informasi intelijen, dapat meningkatkan kapabilitas Indonesia dalam menjaga wilayahnya.
5. Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat:
Selain pendekatan militer dan diplomasi, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat pesisir juga penting. Program-program pendidikan tentang pentingnya kedaulatan maritim dan hak-hak Indonesia di ZEE harus ditingkatkan. Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir melalui pelatihan dan bantuan dalam sektor perikanan dan pariwisata juga dapat mengurangi ketergantungan mereka pada sumber daya yang rentan terhadap gangguan.
6. Kesimpulan:
Pada akhirnya, perlindungan terhadap kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan memerlukan pendekatan yang holistik, melibatkan diplomasi, pertahanan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Dengan mematuhi dan menegakkan hukum internasional, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam menghadapi ancaman konflik di kawasan ini dan menjaga kedaulatan nasional secara berkelanjutan. Melalui pendekatan komprehensif ini, Indonesia dapat memastikan bahwa kepentingan nasional terjaga dan sumber daya alam yang ada di ZEE dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Diplomasi yang kuat, pertahanan yang kokoh, serta pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan adalah kunci untuk menghadapi dinamika geopolitik di Laut China Selatan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H