Di masa pandemik atau tidak, bekerja lebih banyak dari rumah kecuali ada konferensi-konferensi terkait. Meski demikian, komunikasiku ke Sofia juga tidak dekat-dekat amat. Kami komunikasi seperlunya, tidak ada pertanyaan "apakah kamu tidur pakai selimut? Makan apa hari ini? Darimana saja hari ini? Sikat gigikah kamu?" dan sejenisnya. Dia juga sembari bekerja sebagai Social Manager dan Volunteer untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Indonesia di Azerbaijan.
Dia punya mimpi punya pasangan orang Indonesia. Jika ada kelak pria Indonesia yang menggantikan posisiku juga tidak masalah untukku, karena aku masih ingin tinggal di Indonesia. Dan kalau berakhir ke dia, syukur entah tinggal dimana pun kelak. Kecintaanku kepada tanah air seperti aku juga mencintai diriku.
Yang menarik untukku lebih pada aku diberi kesempatan oleh Sang Ada berkomunikasi dengan wanita yang bukan dari negaraku sendiri dan itu berlangsung secara alami tanpa ada niat sebelumnya cari-mencari. Tidak perlu untukku juga menunggu kontaknya.
Kesederhanaan satu sama lain menjadi cita-cita kami karena kebetulan kami suka dengan tipe-tipe kesederhanaan, dunia budaya, bahasa dan musik sesekali menyelangi. Sejauh ini kami tidak ada mengikat hubungan sebagaimana biasa aku alami. Boleh dikatakan stuck di zona pertemanan.
Tidak ada juga upaya satu sama lain untuk melangkahkan lebih jauh karena berjanji bertemu dulu, untuk mencocokkan satu sama lain. Aku menulis ini agar ada kenangan bahwa aku pernah menuturkan tentang wanita Azerbaijan lepas kelak menjadi satu keluarga atau tidak. Setidaknya mengenalnya sebagai seorang sahabat, itu sudah lebih dari pada cukup. "Cinta" tidak harus memiliki bukan?
Dia dan aku adalah makhluk historis. Jika ditelisik dari tulisan Joachim Fischer (2018) untuk menciptakan kesatuan antara roh, jiwa, dan badan (Geist, Seele, Leib) itu memerlukan saling-hubung antara organ-organ fisik, psikis dan tubuh dalam hirarki akal budi, kehendak (volition), emosi, hasrat. Percaya bahwa dua kultur yang berbeda bisa saling menopang (koekstensif) sekaligus pada saat yang sama tetap bersifat tak-tereduksi.
Adapun bentuk kepedulian aku dan Sofia ialah:
1. Kamu adalah aku
Emmanuel Levinas menawarkan cara memandang "orang lain" sebagai wajah yang menampakkan diri kepada "aku". Wajah itu eksterior, memiliki keberlainan, bermakna dalam dirinya sendiri dan luhur.
Berhadapan dengan wajah "orang lain", "aku" membangun relasi yang asimetri dengan "orang lain". Relasi jenis ini membutuhkan kehadiran konkret, yang memungkinkan seseorang untuk melakukan percakapan. Kehadiran konkret tidak harus selalu bertemu secara fisik, tetapi saling berkabar dan menunjukkan bahwa "aku ada".