Mohon tunggu...
Dom Asteria
Dom Asteria Mohon Tunggu... Jurnalis - Energy Journalist

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sudah Terlalu Lama Terkurung Nostalgia

13 Juli 2021   00:36 Diperbarui: 22 Maret 2022   19:48 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ucapan manis darinya saat itu. (Dok. Pribadi/Lambok Dominikus)

Aku sisada denga turang asa gundari, Labo ban la lit bage si rate jadi, Lenga lit aku jumpa turang asa gundari, Bagi kena beluhna nami-nami.

Ini aku kutip dari syair lagu Plato Ginting yang judulnya "Aku Sisada Denga". Kurang lebih artinya demikian, "Aku masih sendiri sampai sekarang, bukan karena ga ada yang mau, tapi aku belum bertemu dengan orang sepertimu."

Cerita ini agak rahasia sebenarnya, tetapi tidak masalah juga sih diceritakan, satu cara untuk mendewasakan diri.

Aku ceritakan dari satu kisah yang menghiasi perjalanan hidupku. Dengan seorang wanita yang bisa mengertiku jauh dari apa yang bisa aku bayangkan. 

Sayangnya kami tidak bertahan selamanya, dia telah menikah, punya putri yang cantik, sedangkan aku masih minum luwak white koffie sendiri di Ibukota.

Semasa kuliah aku memutuskan untuk mencoba peruntungan mendekati seorang wanita. 

Dia bukan kenalan baru, melainkan teman yang usianya setahun lebih muda dariku. Rumah orangtuanya bertetangga dengan desa tempatku lahir.

Semasa kecil, kami sesekali bertemu dalam kegiatan iman, baik itu latihan atau pertandingan. 

Sependek ingatanku, komunikasi kami sangat terbatas saat itu.

Suatu ketika, saat masanya masih mengenakan pakaian putih abu-abu aku kepo (Knowing Every Particular Object) tentang hidupnya. 

Alasannya, dia adalah salah satu dari tiga wanita yang aku kagumi saat usia sekitar 7-13 tahun. 

Aku ingin tahu sudah bagaimana kondisi hidupnya saat ini, perubahan rambutnya, kekasihnya dan rencana kemana dia akan kuliah. Aku ingin menyusup masuk ke kehidupannya, kesempatan yang tidak pernah aku ambil saat masih SD-SMP.

Usut punya usut, teman kompakku saat SD justru lebih awal mampu "merenggut" hatinya, sial memang. 

Perasaan seketika tidak enak, masakan aku mengganggu hubungan mereka pikirku singkat saat itu.

Aku SMA di Pematangsiantar, sedangkan dia di Pamatangraya-sekolah berlabel plus. 

Boleh dibayangkan, selain disebabkan lokasi menempa pendidikan yang berbeda, desa kami juga bertetangga sehingga kemungkinan untuk bertemu sangat kecil. 

Satu hal lain, keenggananku untuk mengenalnya lebih jauh terhambat rasa perbedaan taraf ekonomi keluarga. Alasan klasik yang tidak menunjukkan kematangan diri, haha.

Entah karena semesta apa, saat liburan ke kampung aku melihatnya duduk manis dan sopan di bangku tempat kami beribadah. 

Bajunya warna merah dengan rambut tergerai menyempurnakan senyumnya yang hangat, hangat darimana aku juga bingung.

Seusai ibadah, aku menemuinya, memberinya salaman khas pria penuh keyakinan dan juga tatapan lemah gemulai ke pucuk hidungnya yang boleh dikatakan seperempat mancung.

"Hai, apa kabar?" tanyaku dengan suara datar. "Hai botou (sapaan di Simalungun untuk teman sebaya berbeda gender, ito dalam bahasa Toba), kabar baik. Kamu bagaimana?" tanyanya balik dengan senyum tipis. 

Setipis isi dompetkulah kalau saat ini.

"Oh iya, kemarin aku bertemu Arfi di Siantar, dia kirim salam ya", ucapku menutupi kegugupan yang datang menghentak.

 Arfi adalah teman kecilku yang saat ini kekasihnya. 

Entah mengapa aku langsung ke topik itu, padahal Arfi juga tidak ada komunikasi denganku terkait si wanita ini.

"Oh iya, kami baru ketemuan kok. Semoga terus lancar sekolahmu ya", pintanya sembari pamitan pulang. 

Sial pikirku. 

Pertemuan terakhir sebelum masing-masing melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Lama tidak komunikasi, akupun berteman dengan seorang yang sedang menempuh pendidikan dunia keperawatan. 

Pertemanan yang singkat karena waktu itu dia kembali ke rumah Bapa di surga. Doaku untukmu Nov.

Kembali ke topik cerita ini 

Beberapa bulan sebelum wisuda, aku mencoba mendekati dia kembali. 

Kali ini komunikasinya lebih menarik, mungkin karena sudah merasa dewasa dan sudah tahu siapa yang cocok untuk diajak berkomunikasi.

Gayung bersambut, kami kembali bertemu di kampung pada momen tertentu. 

Bercanda beberapa kali. Tangan nakalku saat itu sebenarnya ingin menggeser rambutnya panjangnya yang sesekali dihempaskan angin. 

Tapi kembali kepada kesadaran bahwa siapalah hamba dan tak sopan juga, belumlah pikirku singkat.

Kehangatan itu berlanjut saat kembali ke tempat kuliah masing-masing. 

Komunikasi lancar dan rayuan maut bertubi-tubi menyerangnya baik lewat media sosial atau komunikasi lewat telepon.

Akhirnya kami memutuskan untuk mengenal lebih jauh.

 Ada kesiapan batin sekaligus mimpi untuk mengarahkannya kepada yang jauh lebih real.

Kita LDR. Dua tahunan bersama. 

Sifat dan perilakunya sangat sesuai dengan apa yang menjadi bahasa diriku. 

Sejauh ini belum ada yang mampu mengerti diriku selain dia, setidaknya itulah penilaianku.

Ucapan manis darinya saat itu. (Dok. Pribadi/Lambok Dominikus)
Ucapan manis darinya saat itu. (Dok. Pribadi/Lambok Dominikus)

Setelah bersama dua tahunan, dia pun meminta kepastian dan sialnya aku tidak cukup berani untuk memberikan kepastian. 

Akhirnya kita berpisah. 

Tidak selang berapa lama dia kembali ke mantannya sebelum aku yang saat ini sudah menjadi suaminya. 

Sangat senang dengan situasi ini. Aku juga toh hadir ke pesta pernikahan mereka. 

Lucunya, wanita yang menemaniku saat ke pesta pernikahannya juga sudah nikah dengan yang lain. 

Haha, sial memang!

Aku tidak mampu membahasakan banyak hal tentang dia. 

Setidaknya sejauh ini dialah wanita yang mengerti apa yang aku ceritakan dan begitu juga sebaliknya. Ketika aku mengetik ini, wajahnya itu sangat hadir. 

Tapi mengikut juga wajah putri manisnya, yang senyumnya tidak beda jauh dengan ibunya.

Ada banyak cerita di baliknya, tetapi setidaknya kami selesai dengan baik-baik. 

Doaku untuknya dan keluarganya. 

Dan aku juga suatu saat ketika memutuskan untuk membangun keluarga kecil juga butuh dukungan dari keluarganya.

Kapan aku bisa menemukan wanita sesuai dengan sifatnya? 

Mungkin tidak ada, sejauh ini masih belum ada. 

Sebanyak dan seluas apapun pergaulanku di Ibukota ini pun, mungkin masih belum ada. 

Apakah aku masih terkurung dalam nostalgia? 

Aku tidak mengerti, padahal aku sudah selesai dengan masa lalu.

Selain karena banyaknya kekurangan dalam diri, tetapi aku cenderung menilai komunikasi wanita itu apakah sesuai dengan dia yang aku ceritakan di atas. 

Gawat memang kalau sudah seperti ini.

Benar dengan ungkapan banyak orang saat ini, selesaikanlah dulu dirimu dengan masa lalu baru buka lembaran baru dengan yang lain. 

Semogalah bisa.

Dom Asteria
Berteman lagu-lagu galau, 13 Juli 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun