Alasannya, dia adalah salah satu dari tiga wanita yang aku kagumi saat usia sekitar 7-13 tahun.Â
Aku ingin tahu sudah bagaimana kondisi hidupnya saat ini, perubahan rambutnya, kekasihnya dan rencana kemana dia akan kuliah. Aku ingin menyusup masuk ke kehidupannya, kesempatan yang tidak pernah aku ambil saat masih SD-SMP.
Usut punya usut, teman kompakku saat SD justru lebih awal mampu "merenggut" hatinya, sial memang.Â
Perasaan seketika tidak enak, masakan aku mengganggu hubungan mereka pikirku singkat saat itu.
Aku SMA di Pematangsiantar, sedangkan dia di Pamatangraya-sekolah berlabel plus.Â
Boleh dibayangkan, selain disebabkan lokasi menempa pendidikan yang berbeda, desa kami juga bertetangga sehingga kemungkinan untuk bertemu sangat kecil.Â
Satu hal lain, keenggananku untuk mengenalnya lebih jauh terhambat rasa perbedaan taraf ekonomi keluarga. Alasan klasik yang tidak menunjukkan kematangan diri, haha.
Entah karena semesta apa, saat liburan ke kampung aku melihatnya duduk manis dan sopan di bangku tempat kami beribadah.Â
Bajunya warna merah dengan rambut tergerai menyempurnakan senyumnya yang hangat, hangat darimana aku juga bingung.
Seusai ibadah, aku menemuinya, memberinya salaman khas pria penuh keyakinan dan juga tatapan lemah gemulai ke pucuk hidungnya yang boleh dikatakan seperempat mancung.
"Hai, apa kabar?" tanyaku dengan suara datar. "Hai botou (sapaan di Simalungun untuk teman sebaya berbeda gender, ito dalam bahasa Toba), kabar baik. Kamu bagaimana?" tanyanya balik dengan senyum tipis.Â