Poligami, sesuatu hal yang hampir selalu menimbulkan ‘polemik’ dalam masyarakat. Hampir selalu akan hadir sebuah perdebatan jika poligami dijadikan bahan diskusi di ruang publik.
Tapi bagi saya, poligami merupakan hal yang sifatnya ‘semi-privasi’ yang membuat saya mencoba menghindari agar saya tidak terpancing untuk berargumen. Itu sebabnya, saya hampir tidak pernah berkomentar apa-apa soal poligaminya Aa’ Gym ataupun Walikota Bogor yang menikah lagi dengan gasis berusia 19 tahun itu.
Memang, saya menyadari bahwa poligami bukan sesatu yang mutlak sebagai privasi, itu sebabnya saya menggunakan istilah ‘semi-privasi’. Poligami memang tidak bisa dianggap urusan pribadi, karena ada individu lain yang (mungkin saja) tersakiti. Itu sebabnya saya merasa jika ada yang berkomentar pedas saat ada tokoh melakukan poligami, saya anggap wajar-wajar saja, meskipun saya pribadi tetap mengambil sikap untuk menghindar.
Kalaupun pada akhirnya saya menulis tentang poligami ini, itu karena rasa gelisah saya sudah tidak tertahankan oleh beberapa argument mereka yang pro terhadap poligami ini. ada sekelompok perempuan yang setuju poligami kemudian berpendapat bahwa poligami itu tidak apa-apa daripada suami mereka ‘jajan diluar’. Menurut mereka, lebih baik suami mereka kawin lagi daripada suami mereka berzina.
Saya jadi geleng-geleng kepala mendengar argumentasi semacam ini. Jujur saja, kalo saja istri saya ngomong “mas, silahkan kawin lagi aja, daripada mas berzina,” niscaya saya akan marah besar. Saya akan terhina jika ada yang mengatakan itu pada saya. Loh kok bisa saya marah? tolong jangan dulu anggap saya munafik, saya punya penjelasan untuk hal ini.
----
Sebelum lebih jauh saya membahas, saya ingin menjelaskan apa yang saya percayai yang nantinya akan menjadi dasar pemikiran saya. Berdasar pada pemahaman yang saya yakini bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, tidak ada makhluk yang lebih unggul dibanding manusia. karena keunggulannya itu, Tuhan ‘menugaskan’ kepada manusia untuk bisa mengendalikan apapun saja. Mengendalikan nafsu, amarah, duit, jabatan dan lain sebagainya. Manusia harus mampu mengendalikan makhluk yang kelasnya lebih rendah dibanding dirinya itu. Manusia punya tugas mengatur makhluk-makhluk itu sampai batas-batas dimana Tuhan ‘tidak marah’.
Manusia itu tingkatannya lebih mulia dibanding uang, maka sudah sepatutnya manusia tidak menyembah-nyembah pada uang. Kita dipersilahkan mencari dan mengejar uang sampai batas-batas dimana Tuhan tidak menggolongkan kita pada kempok yang serakah.
Manusia jauh lebih unggul jika dibandingkan dengan syahwat. Manusia diberikan Tuhan syahwat dan kemudian tugas manusia mengaturnya, dimana dan kapan syahwat itu bisa disalurkan. Bagi orang beragama, salah satu tempat penyaluran syahwat yang direstui Tuhan adalah lewat jalur pernikahan. Tapi harus dicatat bahwa pernikahan tidak sepenuhnya tentang syahwat.
Waktu saya belum menikah dulu sering diberi wejangan oleh orang tua, “Segeralah menikah jika sudah mampu, jika belum mampu maka berpuasalah”. Nah, tafsir saya atas wejangan itu adalah : media pengendalian syahwat tidak melulu dengan pernikahan, berpuasa juga merupakan jalur yang bisa dipakai. Berpuasa disini saya tidak selalu indentikan dengan seperti puasa romadhon, puasa disini saya maknai sebagai pengendalian.
Puasa mengajari kita tentang untuk mengendalikan ditengah kegemeran kita untuk melampiaskan. Puasa melatih kita untuk berkata ‘tidak’ pada sesuatu yang biasanya sering kita ‘iya’kan. Dalam berpuasa, syahwat bisa terkendali.
Begitu juga dalam pernikahan, soal pelampiasan syahwat pun ada ‘pagar-pagar’ yang tidak boleh dilanggar. Bagi orang muslim, ada waktu-waktu tertentu dimana hubungan badan yang biasanya halal menjadi haram.
----
Dari hal yang telah saya coba jelaskan itulah maka saya akan marah jika ada yang menyuruh saya menikah lagi karena alasan : ‘daripada jajan diluar’. Saya manusia yang sudah sepatutnya mampu mengendalikan nafsu.
Wahai perempuan-perempuan yang mengijinkan suami anda menikah lagi dengan alasan agar suami anda tidak berzina, maka ketahuilah bahwa saat itu juga anda sedang menghina suami anda, apa anda kira suami anda kambing?
Wahai para lelaki yang menggunakan alasan agar tidak berzina untuk menikah lagi, ketahuilah bahwa saat itu juga anda sedang merendahkan diri anda sendiri. Anda bukan kambing yang nafsunya ‘ngejreng’ setiap bertemu dengan lawan jenis. Anda adalah manusia yang telah dibekali tools oleh Tuhan untuk mengendalikan syahwat. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H