Mohon tunggu...
Lazuardi Ansori
Lazuardi Ansori Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lamongan, kemudian belajar hidup di Sulawesi dan Papua...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hati dan Pikiran

18 April 2010   02:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:44 3425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cak Nun dalam satu artikelnya pernah menulis “Pikiran ikut menolongnya (hati) mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu (Tuhan), tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan boomerang

Kita sering terjebak dengan metode-metode kita dalam bertindak, bersikap sekaligus dalam beriman. Kita lebih senang ‘menomorsatukan’ pikiran dibanding hati, bahkan sudah terbiasa dengan itu semua. Sebagai salah satu contoh, beberapa waktu yang lalu Indonesia dihebohkan dengan Ponari. Semua tokoh dan ahli ikut berkomentar, semua stasiun TV memberitakannya, Koran-koran tidak habis-habisnya dalam mengulas fenomena Batu Ponari. Namun satu hal yang bikin saya kurang nyaman adalah wacana yang mengatakan bahwa ‘berobat’ ke Ponari itu tindakan syirik. Saya tidak mengerti hukum Islam, fiqh-nya seperti apa aku ora weruh, namun saya merasa ada ketidakadilan disitu. Kenapa ke Ponari dianggap syirik, sedangkan ke Dokter tidak? Apa bedanya Batu-nya Ponari dengan Pil yang dari Dokter? Saya curiga, jangan-jangan kita men-syirik-kan Ponari karena Batu Ponari itu tidak masuk akal, sedangkan Pil yang dari dokter itu berasal dari proses pemikiran yang panjang dan ilmiyah. Jadi, kesimpulan tentang kesyirikan itu ambil berdasar dari kemasuk-akalannya.

Dilain kasus, saya sangat senang dengan kata-kata teman saya yang dokter. Ketika saya berkonsultasi tentang penyakit bapak saya, diakhir pembicaraan, sahabat saya yang dokter ini bilang “Hanya tuhan yang memberikan kesembuhan”. Jadi, kesembuhan itu bukan dari Ponari atau dokter, bukan dari batu atau pil. Allah yang punya kuasa atas segala sesuatu, kesembuhan itu datangnya dari Allah. Jadi, jangan kaget kalo ada yang ke Ponari terus sembuh. Jangan dibilang tidak masuk akal, karena yang bilang seperti itu yang perlu ditanyakan ‘keimanan’-nya. Suka-sukanya Tuhan mau memberikan kesembuhan lewat jalur mana, bisa lewat Ponari, bisa dokter, dukun atau semburannya (suwuk) kyai.

Kita sering kecelik, diam-diam kita berkeyakinan bahwa Tuhan ‘selalu’ berkehendak sesuai logika manusia. Padahal sebaliknya, manusia-lah yang hanya mampu, saya ulangi, HANYA mampu mempelajari Tuhan sebatas pikirannya. Oleh karena itu, pikiran jangan dibiarkan sendirian dalam mencari Tuhan, harus dipandu oleh hati.

***

Saya akan coba menarik lagi memory saya jauh kebelakang, waktu saya masih kelas enam SD. Guru agama saya mengatakan bahwa, babi itu haram. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa babi itu tidak boleh dimakan, dan dijaman modern telah diteliti bahwa ternyata babi itu mengandung cacing pita. Kesimpulannya pada saat itu, Al-Qur’an itu kitab yang luar bisa, karena pada jaman belum ada labolatorium, Dia (Al-Qur’an) ‘mengetahui’ bahwa babi itu bahaya. Jujur saja, argumentasi itu membuat saya jadi lebih beriman pada Al-Qur’an.


Tapi, sewaktu saya SMP ada teman saya yang ngajak makan babi. Sudah pasti saya tolak. Namun teman saya tersebut bilang, Babi itu haram karena cacing pita, babi yang akan kita makan ini sudah diberi obat, sehingga tidak ada cacing pitanya lagi.

Saya tetap tidak makan, tapi bukan lagi 100% karena keimanan saya terhadap Al-Qur’an, tapi lebih pada ‘ketidakpercayaan’ saya tentang ada obat atau tekhnologi yang bisa membersihkan cacing pita dari babi. Syukur Alhamdulillah, waktu itu saya belum mendapatkan atau meyakini informasi tentang adanya tekhnologi itu. Misalnya saja saat itu saya disodorkan sebuah hasil penelitian atau dipraktekkan didepan saya tentang cara membersihkan cacing pita dari daging babi, kemungkinan saya akan ikut makan.

Beberapa tahun sesudahnya saya baru dapat pencerahan dari sebuah artikelnya Cak Nun, secara singkat saya simpulkan bahwa, Hukum Allah pada sesuatu hal yang sifatnya mahdoh jangan diargumenkan. Babi itu haram, titik. Take it or live it..!!. Kalo kita ilmiah-ilmiahkan malah bahaya, karena setiap berjalannya waktu tekhnologi semakin berkembang. Sepertihalnya cacing pita tadi, kalo kita berkeyakinan bahwa larangan itu karena cacing pita, suatu saat kita akan kecelik. Karena untuk ‘mengatasi’ cacing pita itu bisa dibereskan dengan ilmu pengetahuan. Hukum babi haram harus diyakini dengan menggunakan hati (kepatuhan dan kecintaan kepada Allah), kalau ada bukti-bukti ilmiah, jadikan saja itu support logis yang sifatnya skunder.

Sholat juga gitu, kita tidak perlu banyak bertanya, “Wis emboh pokoke sampean dikongkon sembayang alasane opo, pokoke sembayang ae

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun