2014
Pada tahun ini kita akan menyambut pemilihan umum (Pemilu) legislatif dan presiden, yang bagi saya tidak lebih sebagai ajang kontes para maling.
Bukan sesuatu yang berlebihan jika dikatakan seperti itu, dengan mata telanjang saja dapat terlihat betapa besar ongkos politik yang mesti digelontorkan partai politik di Indonesia, yang memandang pemilu sebagai pesta politik. Namanya pesta ya sudah barang tentu glamor dengan berbagai hiburan, kampanye yang mestinya dimaksimalkan untuk penyampaian visi misi ke depan malah lebih mirip konser dangdut yang disponsori parpol. Belum lagi budaya "tebar uang" yang masih banyak diandalkan orang-orang politik itu untuk mendulang suara, makin membengkaklah biaya politik.
Lihat saja, berapa sih pendapatan resmi anggota dewan? Gaji bupati? Gubernur? Apa cukup untuk menutup semua biaya yang sudah dikeluarkan semasa kampanye? Lalu dari mana cari tambahannya?
Nah, dari situ saja sudah bisa dipastikan bahwa hampir semua orang politik akan jadi maling setelah menjabat. Dikatakan hampir karena kemungkinan masih ada harimau vegetarian.
Golput? Bukan solusi...
Itu sama artinya membiarkan para pemilih bayaran yang menentukan pilihan terburuk, calon maling yang berani membayar suaranya paling mahal.
Yang namanya kontes, tentu juaranya yang terbaik diantara yang baik. Namun kontes para maling ini berbeda, juaranya mesti yang buruk diantara yang terburuk.
Untuk saya pribadi, ada tiga kriteria penentuan juara dalam kontes para maling ini, yaitu:
1. Pilih maling yang tidak terlalu rakus.
2. Pilih maling yang masih mau peduli.
3. Pilih maling yang masih punya hati.
"...banyak hal buruk terjadi bukan karena ulah sebagian orang jahat, tapi karena mayoritas orang baik tidak peduli..."