Jakarta : Dalam artikel ini saya mencoba menengahi antara Ideologi "gagasan" yang sering dikemukakan oleh ARB di berbagai forum dengan Ideologi survei yang sangat marak jelang pemilu 2024.
Bukan karena saya pinter. Dibanding mahasiswa terbaik Paramadina saja, saya kalah pintar. Apalagi dengan (mantan) Rektornya, tetapi karena posisinya, Â apapun yang dikatakan ARB adalah salah bagi lawan-lawannya.
Ideologi "gagasan" bersumber dari Sila ke 4 Pancasila, bahwa NKRI bisa berdiri berkat Hikmat dan Kebijaksanaan para Pemimpin yang dipercaya mewakili Rakyat.
Tetapi Sila keempat itu belum pernah dipraktekkan sejak di create hingga sekarang, bahkan ketika MPR masih jadi lembaga tertinggi negara yang memiliki otoritas memilih presiden. Karena di era reformasi kita memilih one man one vote, yang menjadi ideologi survei yang didasarkan pada filsafat Suara Rakyat Suara Tuhan
Inilah discoursenya, jika tidak bisa dikatakan sebagai konflik. Ini belum memasukkan faktor Oligarki yang sangat berpengaruh memanfaatkan komunikasi konflik bangsa ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Sila ke 4 menyerahkan keputusan-keputusan sangat penting bangsa ini pada representasi para negarawan. Dalam Sila itu ada kata 'hikmat' dan 'kebijaksanyang terjemahan bahasa Indonesianya sama-sama kebijaksanaan. Tetapi Hikmat sengaja tetap ditulis oleh para Founding Fathers yang Ulama dan tokoh Ormas Islam dimaksudkan sebagai pengertian secara Qurany
Sedangkan ideologi survei menyerahkan pada suara rakyat, yang mengesampingkan Values, yang menyamakan suara rakyat yang tidak faham pemilu dengan Ulama besar atau profesor filsafat.
Alternatif Solusi bagi pendukung ideologi Sila ke 4 :
1. Mengembalikan UUD 45 sebagaimana adanya, ketika di create oleh para Founding Fathers. Tetapi ini bukan tidak ada resikonya, karena sebagaimana dikatakan oleh Al Maghfurlloh KH Hasyim Muzadi, para Wakil Rakyat kita boro-boro Bil Hikmah, mereka bahkan menjadikan lembaga yang sangat terhormat dan mulia itu untuk bertransaksi
2. Mengikuti kebijakan salah kaprah para pahlawan reformasi yang bertentangan dengan Sila ke 4, sebagai tujuan sementara, hingga bangsa ini bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin sebagaimana yang dimaksudkan oleh Sila ke 4 Pancasila.
Ormas-ormas Islam wajib 'ain' mendidik dan melatih anggotanya jadi kader-kader politik negarawan yang ikhlas, yang fokusnya demi menyenangkan Allah SWT. Dan bukan menyenangkan diri sendiri (hedonistis) dan atau penguasa.
Sebagai pengamat dan pelaku psikologi sosial, saya melihat  kita masih punya peluang untuk mengubah keadaan.
Apakah itu ?
1. Rakyat sudah merasa muak dengan pembusukan partai-partai politik, dan menginginkan perubahan
2. Rakyat sudah merasakan derita akibat kontestasi one man one foot, yaitu melahirkan pemimpin yang kurang kompeten, dan keadershipnya lemah, tetapi sangat Tricky mengotakatik kekuasaan.
3. Ideologi survei didasarkan pada filosofi "kekuatan perolehan suara adalah kebenaran". Kelemahan ideologi ini, termasuk yang dirasakan oleh pembuat survei sendiri maupun para Usernya, berlawanan dengan mata batin dan hatinurani mereka, tentang kebenaran hakiki itu sendiri. Karena mereka adalah kaum intelektual yang berKetuhanan YME
4. Semakin maju peradaban, dan semakin mudah mendapatkan informasi, semakin tumbuh kesadaran akan nilai-nilai kebenaran.
Sekurang-kurangnya generasi sekarang, gen Y dan gen Z dengan mudah membedakan dengan mata batin mereka, mana pemimpin-pemimpin tulus dan pemimpin culas, produk dari politik yang mengandalkan kekuatan massa, sebagaimana disebutkan pada nomor 3 diatas.
Para pemimpin intelektual perlu memanfaatkan hal ini dengan memberikan edukasi di media sosial, sehingga mereka tercerahkan dan bangkit melawan kebusukan para politisi di Istana dan Senayan.
Amir Faisal
Trainer Marketing Politik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI