Oleh: Izlah Dwi Putri Aprilia, Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang
Pernikahan dini, sebuah fenomena yang masih menghantui Indonesia, menjadi benang merah yang menghubungkan dengan tingginya angka perceraian. Data menunjukkan bahwa pasangan yang menikah muda memiliki risiko perceraian yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang menikah di usia dewasa. Fenomena ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan dari realitas pahit yang dialami oleh banyak pasangan muda, yang dipaksa untuk menghadapi tantangan pernikahan tanpa bekal mental dan emosional yang matang.
Pernikahan dini seringkali dipicu oleh faktor sosial dan ekonomi. Masyarakat yang masih memandang pernikahan sebagai solusi untuk masalah seperti kehamilan tidak terencana, justru menambah beban bagi pasangan muda. Tekanan ekonomi yang berat, kurangnya pendidikan, dan pemahaman tentang pernikahan yang sehat, semakin memperparah situasi ini. Di balik romantika pernikahan, pernikahan dini menyimpan bahaya yang tersembunyi. Pasangan muda yang belum matang secara fisik dan psikologis, rentan mengalami konflik dan ketidakcocokan dalam rumah tangga. Ketidakstabilan emosional, ego yang masih tinggi, dan kurangnya kemampuan dalam menyelesaikan masalah, menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Data menunjukkan bahwa banyak pasangan muda yang menikah dini, bercerai dalam waktu satu hingga dua tahun setelah menikah. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dini bukan solusi, melainkan awal dari masalah baru. Selain itu, pernikahan dini juga berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental. Risiko kematian ibu dan bayi yang tinggi, serta masalah kesehatan mental seperti depresi dan gangguan mood, menjadi ancaman serius bagi pasangan muda.
Pernikahan dini merupakan masalah kompleks yang membutuhkan solusi multidimensi. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi dalam meningkatkan kesadaran akan dampak negatif pernikahan dini. Edukasi dan pemberdayaan remaja menjadi kunci utama dalam mencegah pernikahan dini dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Penting bagi para remaja untuk memahami bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen yang membutuhkan kesiapan mental, emosional, dan finansial. Mereka harus diberikan akses terhadap pendidikan dan informasi yang memadai tentang pernikahan, sehingga dapat membuat keputusan yang bijaksana untuk masa depan mereka.
Peran orang tua dan keluarga juga sangat penting dalam mencegah pernikahan dini. Mereka harus memberikan dukungan dan bimbingan kepada anak-anak mereka, serta memberikan pendidikan seksualitas yang benar dan bertanggung jawab. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para remaja, dengan menentang praktik pernikahan dini dan memberikan kesempatan yang sama bagi mereka untuk meraih pendidikan dan masa depan yang cerah.
Pernikahan dini bukan hanya masalah pribadi, melainkan masalah sosial yang harus ditangani secara serius. Dengan meningkatkan kesadaran dan upaya bersama, kita dapat memutus benang merah antara pernikahan dini dan perceraian, serta membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi muda Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H