Aksi bela Islam 212 pada 2016 silam menjadi satu peristiwa yang tentu tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah dinamika dan perjalanan bangsa ini. Sebuah peristiwa yang pastinya memberikan efek trauma sehingga menuntut masyarakat untuk tidak hanya mengingat, tetapi juga belajar dari peristiwa tersebut. Banyak pihak menyebut peristiwa atau aksi 212 ini sebagai pertarungan agama dan politik. Benarkah demikian?
Dalam sejarahnya, aksi bela Islam ini banyak menuai pro dan kontra. Tak ayal, jika dari peristiwa ini dunia Islam seakan mengalami guncangan hebat. Banyak kelompok-kelompok Islam marah atas apa yang dilontarkan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai sebuah  penistaan agama bahwa umat Islam dibohongi oleh QS. Al-Maidah ayat 51. "Jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51", ungkapnya ketika melakukan kampanye pilkada DKI pada kala itu. Sehingga memunculkan kebencian dari kelompok-kelompok muslim yang memicu bahan perbincangan secara global, baik dalam hal agama, politik dan akademik. Dalam hal ini, masyarakat Indonesia menuntut supaya diadakannya proses hukum secara tegas dan adil.
Ungkapan Ahok tersebut berasal dari sebuah pidato Ahok di dalam kunjungan dinasnya di kepulauan Seribu pada September 2016 silam. Mengapa ungkapan tersebut bisa menimbulkan kontroversi? Jawabannya disebabkan Ahok mengucapkan di depan khalayak komunitas Muslim Indonesia dalam bentuk penistaan, sedangkan pernyataan tentang isi dalam surah Al-Maidah ayat 51 untuk melarang non-Muslim menjadi pemimpin di Indonesia adalah salah tafsir. Sehingga pernyataan Ahok terdeteksi terdapat unsur pelecehan terhadap ulama yang memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam, maka yang berwenang atau berhak menyampaikan isi kandungan surah ini adalah kalangan para ulama itu sendiri.
Pernyataan ini juga memiliki pandangan dalam kacamata sosial yaitu dalam hal memperdayai masyarakat muslim agar tidak mau dipimpin oleh orang-orang dari kalangan non-muslim yang cenderung mengindikasi bahwasanya surah ini digunakan sebagai media untuk membohongi masyarakat.Â
Agama dan Politik, Bisakah Bergandengan Tangan?
Pada 14 Oktober 2016 hingga 5 Mei 2017, gerakan ini dipimpin Habib Rizieq Syihab dari Front Pembela Islam (FPI), dan Bachtiar Nasir dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) memiliki tujuan untuk mengawal masyarakat atas hukum kasus Ahok, meningkatkan solidaritas di kalangan umat dan meyakinkan umat muslim bahwasannya Ahok telah berani melakukan penistaan agama melalui surah dalam Al-Qur'an.
Pendiri Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab dalam pidatonya mengatakan aksi 212 menyebabkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ke penjara. Rizieq turut menyampaikan bahwa pribumi adalah tuan rumah di negeri sendiri dalam konsep NKRI bersyariah. Acara yang telah dimulai sejak dini hari tersebut dihadiri sejumlah figur, termasuk Amien Rais, Ketua Alumni 212 Slamet Maarif, tokoh FPI Munarman dan Novel Bamukmin, hingga penyanyi Opick.
Maka  dalam aksi demo 212 ini, Pembangunan solidaritas umat islam dalam politik, Bersatu. Baik dari individu maupun kelompok sama halnya dengan organisasi-organisasi lainnya, mereka mendapat manfaat seperti pengalaman baru, menjalin relasi serta memperlihatkan cerminan mobilisasi politik yang berbasis agama karena banyak organisasi-organisasi islam yang ikut serta dalam unjuk rasa ini. Dalam aksi ini massa yang datang mencapai ribuan bahkan lebih, berlangsung disekitar Masjid Istiqlal, Monas dan sekitarnya. tidak terjadi aksi kekerasan melainkan berlangsung secara damai.
Tentu demo memiliki dampak atau pengaruh terhadap politik yaitu dampak yang signifikan terhadap Pilkada Jakarta 2017. Ahok yang sebelumnya dianggap mempunyai peluang besar untuk menang akhirnya jatuh dalam Pilkada DKI, dengan terpilihnya Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta, tumbuhnya gerakan Islam politik yang memperlihatkan pentingnya peran agama dalam kehidupan politik terhadap isu-isu yang mengontroversi, dan penegakan hukum atas Ahok yang divonis penjara pada Mei 2017 dengan tuntutan penistaan agama.
Aksi 212 memperlihatkan pentingnya peran agama dalam politik dan menciptakan mobilisasi politik berbasis agama di Indonesia, dengan banyak organisasi Islam terlibat dalam unjuk rasa yang berlangsung damai meski mengundang kontroversi. Persatuan akan massa dari beberapa tempat ini, mengundang banyak hal positif tentunya terutama dalam segi politik dan agama. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H