"Aku nggak punya rumah, nggak punya nama.... Seenggaknya, dulu, meskipun banyak tikusnya, kamar 315 Rusun Nero itu rumahku. Meskipun dia membakar tanganku pakai setrika, dia Papaku...."
- P, Di Tanah Lada.
Kelemahan Buku
Ketika membaca novel ini, kerap kali saya dibingungkan dengan sudut pandangnya yang tidak konsisten. Pada awal cerita, sudut pandang cerita ini sangat lekat dengan sudut pandang anak-anak, ditandai dengan racauan dan mudah terdistraksi oleh hal lain. Namun, menuju akhir, saya mulai meragukan bahwa novel ini dinarasikan oleh anak berusia 6 tahun. Ucapannya yang terlalu filosofis dan terlalu dewasa membuat saya merasa janggal dan merasa bahwa pada bagian akhir bukan Ava yang bercerita, tetapi Ziggy.Â
.... Kadang-kadang, rasanya menakjubkan sekali bagaimana aku bisa merasakan apa yang dia rasakan hanya dengan memandangi wajahnya. Kupikir, itu karena kami adalah satu hati yang bereinkarnasi jadi dua manusia yang berbeda. Meskipun tubuh kami terpisah, tapi perasaan kami satu.Â
-- Di Tanah Lada, halaman 236Â
Kesimpulan
Terlepas dari kekurangan buku ini, saya sangat merekomendasikan novel Di Tanah Lada sebagai salah satu novel yang wajib dibaca. Di Tanah Lada adalah sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan dan harapan. Novel ini akan menyadarkan para pembacanya bahwa hal pertama yang harus dilakukan untuk bisa menjadi orang tua yang baik adalah menyembuhkan luka dan trauma agar tidak berimbas pada keturunannya. Luka dan trauma yang dimiliki oleh orang tua bukan tanggung jawab anak-anaknya karena anak-anak hanyalah makhluk kecil tidak berdosa yang butuh untuk disayangi, bukan dicaci maki atau dipukuli.Â
Novel ini juga berisi cerita yang cukup triggering sehingga membaca novel ini harus dalam kondisi yang baik karena isinya cukup menyerap energi positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H