Saya adalah salah satu dari generasi yang beruntung, bisa turut merasakan, menikmati euforia bangkitnya dunia perfilman Indonesia yang di genderangi oleh munculnya film Ada Apa Dengan Cinta di tahun 2002. Memang sebelumnya sudah ada film yang tanyang sebelum AADC, hanya saja film-film tersebut kurang mendapat respon dari masyarakat. Di kemunculan AADC kala itu, saya adalah anak SMA umur 16 tahun, yang lagi hobi nyanyi lagu-lagu Jikustik, Padi dan Dewa 19. Berkirim salam melalui radio dan request lagu adalah sebuah perjuangan yang menyenangkan layaknya menunggu hasil undian.
Saat itu memiliki handphone belum semudah sekarang, dan untuk berkirim salam melalui radio hanya bisa lewat telepon itupun jika beruntung kalau telepon kita bisa diterima karena harus bersaing dengan puluhan penelepon lain se-Yogyakarta. Alternatif lain berkirim salam adalah dengan mendatangi stasiun radio, menuliskan salam dan request lagu di kartu request yang disediakan, itupun sekali lagi gambling jika beruntung berarti dibacakan penyiar, jika tidak kekecewaan harus ditelan meskipun sudah mantengin radio hingga acara selesai, dan jika request dibacakan bahagianya ... luar biasa.
Ketika AADC mulai tayang dan promosi soundtrack lagu AADC mulai merajai radio-radio di seluruh Yogyakarta, telinga ABG kami mulai dimanjakan alunan suara Melly Goeslaw dan Eric. Bahkan hampir semua lirik lagu dalam album AADC kami hafal. Saat itu satu-satunya bioskop di Yogyakarta yang menayangkan AADC hanyalah bioskop Mataram.
Animo masyarakat yang didominasi penonton remaja sangat luar biasa. Bahkan antrian tiket sampai membuat jalan layang Mataram macet total. Harga tiket saat itu saya tidak begitu ingat, terbilang belasan ribu, tapi jika kita membeli di calo harga bisa naik hingga 100% tergantung pandainya kita menawar.
Penonton berduit dan malas antri biasanya lebih memilih beli tiket di calo. Para calo biasanya sudah menyambut di area parkiran, bahkan pernah ketika mengantri di loket teman saya diminta tolong oleh salah satu calo untuk memborong beberapa tiket sekaligus.
Untuk urusan kursi, jangan bayangkan penonton bisa memilih kursi dengan melihat simulasinya di layar monitor seperti sekarang, kursi penonton tergantung keberuntungan masing-masing orang, jika penonton sebelumnya tertib, maka penonton yang datang belakangan bisa mendapat kursi sesuai hak-nya, jika penonton sebelumnya asal duduk, maka penonton yang datang belakangan asal duduk juga.
Demam AADC mempengaruhi gaya anak muda saat itu. SamaA halnya ketika demam drama korea Meteor Garden yang mendadak banyak orang ingin meluruskan rambutnya dan salon-salon banyak mendapat order potong rambut ala Dao Ming Se, demam AADC membuat cowok-cowok yang berambut ikal sedikit memanjangkan rambutnya agar terlihat mirip Rangga, kemana-mana membawa dan terlihat tenang.
Sedangkan cewek-cewek berambut panjang mendadak suka memakai bendana dari kain segiempat yang istilah di Jogja kami sebut kain sleyer putih dan juga mengenakan kaos kaki putih panjang sampai ke lutut waktu sekolah.
Belum lagi tarian geng Cinta juga tidak luput dari perhatian remaja putri kala itu. Bahkan saya dan teman-teman satu asrama ikut-ikutan mempelajari gerakan tari geng Cinta juga. Jika sekarang kita bisa melihat film atau fideo clip AADC di youtube dengan mudah, dulu kami menghafal tarian geng Cinta dari video clip yang tayang di televisi.
Setelah style mode dan tarian, puisi Rangga, buku “AKU INI BINATANG JALANG” Chairil Anwar, juga tak luput menjadi daya tarik bagi penonton khususnya remaja. Saya sendiri pada awalnya tidak begitu tertarik dengan puisi. Bagi saya Chairil Anwar sebatas saya ketahui sebagai penyair dari pelajaran sekolah. Tapi, gara-gara AADC timbul rasa penasaran untuk mengetahui lebih banyak siapa Chairil Anwar dan apa saja puisi-puisi yang telah menjadi karyanya. Puisis Rangga yang dibuat lagu oleh Cinta juga menarik untuk dicoba, entah mencoba melagukan puisi apa saja yang ada didepan mata atau mencoba memainkan gitar dengan kemampuan ala kadarnya hanya demi merasakan sensasi menjadi seorang Cinta.
Pernak-pernik yang menyangkut AADC juga menjadi buruan, kamar saya waktu itu juga sempat dihiasi poster-poster AADC terumata poster Nicholas Saputra yang saya dapat dari seorang teman pelanggan tabloid remaja. Bahkan teman asrama saya yang bernama Lusi, selalu berpuisi didepan poster Rangga tiap kali datang kekamar saya :D .... remaja ... oh ... remaja... !!!
Inilah sediki cerita saya bersama AADC di tahun 2002, semoga film Indonesia semakin kaya dengan dengan film-film remaja yang lebih bermutu, tidak hanya menghibur namun juga bisa memberikan inspirasi bagi siapapun yang menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H