Pola inilah yang berulang kali diluncurkan oleh pemerintah dalam mewujudkan pendidikan yang berasaskan hanya kepada duniawi semata. Tidak adanya penguatan aqidah dan syariat menjadi bukti bahwa pendidikan hari ini mengarah ke Barat.
Adapun dalam seleksi berdasarkan tes atau skolastik yang membutuhkan berpikir kritis serta penalaran dalam memecahkan problem, tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Pasalnya, selama ini siswa di "gembleng" dengan kurikulum 2013 yang mengutamakan pembelajaran rutin di kelas dengan target mapel tiap minggunya yang membuat para siswa kalang kabut. Jika kemudian siswa harus beralih konsep belajar akibat perubahan kurikulum merdeka, maka dipastikan belum terbentuk dengan baik penyesuaian kurikulum ini.
Akibatnya, penggunaan tes ini hanya diuntungkan oleh siswa-siswa yang aktif dan berprestasi saja. Otomatis untuk memenuhi target-target yang belum dimiliki siswa, para orang tua memasukkannya ke bimbingan belajar (bimbel) yang justru hanya memvalidasi bahwa sekolah-sekolah tidak mampu mewujudkan kurikulum merdeka dengan baik.
Andaipun kebijakan ini akan memberi kesempatan mereka yang tidak mampu bimbel karena terkendala ekonomi untuk lolos dalam seleksi, lantas bagaimana kelanjutannya?
Meskipun kuliah di PTN dianggap lebih murah, tetapi tetap saja mahal. Kendala beban kuliah di PTN ternyata tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan ini, kecuali hanya saat seleksi masuk saja.
[Tidak Menyentuh Akar Permasalahan]
Ditinjau darimanapun tetap kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah pendidikan dari hulu hingga hilir. Sebab biaya Perguruan Tinggi Negeri tetap saja mahal jika melalui jalur mandiri. Sekalipun dikatakan tidak ada unsur komersil dan nepotis. Tentu bukan ini solusi yang diharapkan.
Meski pemerintah selalu mengklaim akan terus meniadakan unsur komersialisasi dalam seleksi masuk PTN dan berupaya transparan, negara tetap gagal dalam memberikan hak pendidikan yang murah dan berkualitas bagi seluruh masyarakat.
Belum lagi, transformasi ini juga tidak bisa menjawab masalah kesempatan berkuliah. Karena dengan kuota yang terbatas, kemudian selebihnya siswa mau tidak mau kuliah di Perguruan Tinggi Swasta yang biayanya jauh lebih mahal.
Sudah sepatutnya negara mengambil langkah konkrit ketika membuat atau mengubah suatu kebijakan. Kebijakan yang seharusnya memberikan pemecahan menyeluruh dan dilihat dari berbagai aspek. Bukan hanya semata-mata ingin "terlihat kerja" saja dengan sesuka hati meresmikan.
Pada akhirnya siswa hanya dipaksa menjadi alat untuk mewujudkan penerapan kapitalis dalam kehidupan, yang justru semakin memperjelas potret negara gagal dan berpihak pada sistem kafir barat.