Mohon tunggu...
Laxmi Trazelya
Laxmi Trazelya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya berprofesi sebagai mahasiswa

Hobi saya jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sikap Kita Beribadah dalam Menghadapi Corona

14 Juni 2022   20:21 Diperbarui: 14 Juni 2022   20:35 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patwa MUI Nomor : 14 tahun 2020, bagi orang yang sudah terpapar corona wajib menjaga dan meng isolasi diri agar tidak terjadi penularan, baginya haram ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penyebaran ( seperti berjamaah ditempat umum.

              Berkaitan dengan mereka yang belum terpapar, maka jika seseorang berada pada kawasan yang sudah rawan bahkan menjadi daerah kebijakan pemerintah sercara khusus oleh pemerintah setempat dengan kebijakan mengantisipasi, maka tidak wajib jumat dan jumat diganti dengan shalat zuhur.

               Prof.Dr.H. Abd Somad LC.MA mengatakan bahwa menghindari jumat untuk menghindari mudharat yang merusak keselamatan diri, dan menggantikannya dengan shalat jumat, itupun berdasarkan sunnah, artinya mmenindahkan sunnah ke sunnah yang lain.

               Ketua Majlis Tabligh Muhammadiyah, juga memberikan argumen, memaksakan diri untuk berrjamaah ke me masjid dalam suasana wabah seperti ini, yang menganggab kesalehan beribadah hanya jika berjamaah di masjid miskipun dalam suasana perang, wabah dsb, itu adalah sikap berkaca mata kuda, pada hal imam syafii pun, mengatakan " saya tidak mengetahui selain ilmu halal dan haram yang lebih berharga yaitu Ilmu kedokteran " Imam syafii memandang maklumat dari ahli kesehatan menjadi acuan dalam melakukan sikap melaksanakan ibadah

3. Keputusan Menteri Agama RI No, surat edaran No 6 tahun 2020, tentang panduan Ramadhan dan Idul fitri 2020

4. Himbauan MUI Pusat tentang Penyelenggaraan ibadah

     selama Ramadhan 

     a. Hindari kerumunan, dalam hal ini menghentikan    

         shalat berjamaah

     b. aktivitas ibadah cukup dirumah saja.

         Kegiatan ibadah termasuk taraweh dirumah saja

     c. Rubah kebiasaan beribadah seperti zakat tidak  

         kebiasaan membayar zakat ramai2 ke tempat 

         ibadah cukup di lembaga resmi melalui online

     d. Tidak mudik.

Beribadah Di Masa Pandemi Covid-19

Salah satu ibadah yang paling derastis perubahannya adalah shalat Jumat. Shalat  Jumat bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu 'ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah) dengan dalil hadits, "Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang sehat" (HR. al-Bukhari & Muslim). Hadits lain, "Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha'un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya". (HR. al-Bukhari & Muslim).

Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum'ah yang berarti "berkumpulnya banyak orang" (ijtima' alnas). Jumatan di rumah juga tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum. Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan harus di masjid. Imam al-Syaf i'i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang berkategori wajib jumatan.

Menurut Dr. Drs. Asmuni Mth, MA., dosen Hukum Islam sekaligus Direktur Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia, berdasarkan catatan sejarah, pernah ada wabah penyakit pada masa Rasulullah dan sahabat. Meskipun bukan virus mematikan layaknya Covid-19, wabah pada masa itu juga menular dengan cepat dan menyebabkan tidak sedikit orang terkena dampaknya. Pada masa itu, salah satu wabah yang sering terjadi adalah kusta atau lepra.

Sebagai tindakan pencegahan, Rasul memerintahkan untuk tidak berdekatan dengan penderitanya maupun wilayah yang terkena wabah. Konsep karantina wilayah ini seperti diungkapkannya dalam HR Bukhari yang artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu."

"Dalam menghadapi wabah penyakit, Nabi Muhammad SAW memberikan konsep karantina untuk menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular", ungkap Asmuni.

Menurut Asmuni, dalam sejarah umat manusia sebelum lahir pengobatan modern, wabah selalu ada dan datang silih berganti. Seperti Covid-19 pada masa sekarang yang datang dengan cepat dan secara tiba-tiba. Covid-19 mencerminkan universalitas semesta dengan segala kekuatan dan keadilannya sekaligus memperlihatkan universalitas manusia dengan segala kelemahan dan kezalimannya.

"Virus ini berperilaku adil, tidak memilih sasaran dengan mempertimbangkan status sosial. Ia dapat mengancam kehidupan orang miskin dan orang kaya, rakyat biasa maupun penguasa, orang bodoh maupun orang intelek", tambah Asmuni.

Ia merefleksikan sifat Covid-19 yang tak pandang bulu, ia masuk melalui jendela rumah sederhana dan mungkin juga jendela istana. Virus ini pula membuat orang mulai memikirkan kematian yaitu sesuatu yang selama ini sering diabaikan dan jarang dipersiapkan.

Ia pun menambahkan, selain akan merubah sikap keberagamaan, Covid-19 juga membuat manusia terpecah menjadi dua kutub yaitu kutub sehat dan kutub sakit. Dan boleh jadi virus ini pula yang akan merubah peta politik global.

Oleh karena itu, negara yang kredibel pasca Covid-19 adalah negara yang mampu memberikan solusi medis yang fungsional dan efektif. Hal ini sekaligus menantang para ahli untuk melakukan penelitian dalam rangka ikhtiar untuk menyelamatkan nyawa manusia. Tak terkecuali para ilmuan Muslim

         Wabah penyakit, seperti Corona Virus Infection Disease-19 (Covid-19), telah menjadi bagian dari sejarah manusia, dan juga telah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hidup. Salah satu wabah yang sering disebut oleh Rasulullah adalah penyakit tha'un. Perlu dicermati bahwa kata tha'un telah digunakan oleh masyarakat Arab secara luas sebelum masa Nabi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun