Pendidikan Pancasila merupakan dasar penting dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia, di mana setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai yang diharapkan mampu membimbing generasi penerus untuk menjadi pribadi yang berintegritas, berbudi pekerti, dan beradab. Namun, dalam realitasnya, pengembangan filsafat Pendidikan Pancasila di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan yang perlu dicermati. Sebagai seorang guru yang telah mengajar di berbagai tempat, saya merasakan betul perbedaan besar dalam pengalaman mengajar, yang memberikan gambaran jelas mengenai ketimpangan pendidikan di tanah air.
Pada tahun 2008, ketika saya menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah sekolah di kota, saya merasa sangat sibuk. Begitu memasuki kelas, para siswa sudah selesai mengerjakan latihan yang sudah ada di buku paket dari rumah. Saat itu, saya merasa seperti diburu waktu, harus mencari model pembelajaran inovatif dan kolaboratif. Karena jika menggunakan model ceramah, siswa cenderung hiperaktif dan mengganggu temannya. Walaupun sekolah tempat saya ditempatkan bukan sekolah favorit, siswa-siswa di sana selalu menunjukkan rasa hormat kepada saya, bahkan ketika saya hanya seorang guru PPL. Setiap kali bertemu, mereka selalu menyapa dengan salam dan penghormatan. Saya merasa, meskipun mereka datang dari berbagai latar belakang, karakteristik mereka yang baik dan penuh rasa hormat menunjukkan bahwa Pendidikan Pancasila memang dapat mengakar dalam sistem pendidikan, meski dengan tantangan tersendiri.
Namun, pengalaman saya berubah setelah saya kembali ke daerah asal saya. Saya mengajar di sekolah swasta di kecamatan, dan meskipun di sana suasananya lebih santai, siswa-siswa sangat antusias untuk belajar. Mereka sangat menghargai proses pendidikan dan menunjukkan rasa hormat yang sama kepada guru. Suasana belajar di sekolah tersebut, meskipun tidak se sibuk saat saya PPL, terasa lebih menyenangkan karena siswa-siswa aktif dan terlibat. Di daerah ini, saya melihat bagaimana karakter siswa terbentuk dari budaya yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila.
Namun, setelah pandemi, saya kembali menghadapi tantangan yang berbeda ketika saya mengajar di sebuah sekolah swasta di desa. Siswa di sana menunjukkan sikap yang sangat berbeda. Motivasi mereka untuk belajar sangat rendah, dan kemampuan akademik mereka jauh di bawah harapan. Saya merasa kebingungan, apakah ini disebabkan oleh dampak pandemi, perubahan kurikulum, atau faktor karakteristik siswa yang memang berbeda dari tempat sebelumnya.
Saya teringat kembali pada pengalaman saya saat menjadi guru PPL di kota, di mana siswa-siswa, meskipun berasal dari latar belakang yang bervariasi, masih mampu menjawab soal matematika dasar seperti perkalian dan pembagian. Bahkan di sekolah di kecamatan, siswa-siswa kelas yang tidak unggul pun masih bisa mengerjakan soal-soal dasar tersebut. Namun, di desa, saya menghadapi kenyataan yang sangat berbeda, terdapat siswa setingkat SMA yang masih bingung ketika diminta untuk membagi angka sederhana seperti 8 dibagi 2. Ketidakmampuan akademik ini menjadi masalah besar yang harus segera diatasi.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak saya, Bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia dapat merata? Mengapa ada perbedaan yang sangat mencolok antara siswa di kota, kecamatan, dan desa, meskipun mereka semua berada di bawah sistem pendidikan yang sama?
Apa yang Harus Dilakukan dalam pemerataan pendidikan?
Pemerataan pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan. Pendidikan harus dapat diakses oleh semua anak bangsa, tanpa memandang tempat tinggal atau latar belakang sosial-ekonomi mereka. Ketimpangan antara pendidikan di kota dan di desa, serta antara sekolah swasta dan sekolah negeri, menunjukkan adanya jurang yang lebar dalam kualitas pendidikan. Pancasila, sebagai dasar negara, mengajarkan kita tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, namun dalam kenyataannya, pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia sangat tidak merata.
Pendidikan di desa, yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi siswa untuk berkembang, malah seringkali terhambat oleh minimnya fasilitas dan sumber daya yang tersedia. Perubahan kurikulum, yang sempat menjadi salah satu penyebab kesulitan bagi siswa pasca-pandemi, juga memerlukan penyesuaian di lapangan. Selain itu, kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter berbasis Pancasila harus menjadi bagian dari pembelajaran setiap hari, bukan hanya teori semata.
Sebagai seorang guru, tantangan terbesar saya adalah bagaimana menciptakan motivasi bagi siswa agar mereka tidak merasa putus asa dalam belajar, meskipun mereka mungkin merasa jauh tertinggal dibandingkan dengan teman-teman mereka di kota. Saya percaya bahwa dengan pendekatan yang lebih personal, pemahaman terhadap kondisi lokal, serta keterlibatan orang tua dan masyarakat sekitar, kita dapat memperbaiki kualitas pendidikan di desa.
Pengembangan Filsafat Pendidikan Pancasila di Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat dan setiap tenaga pendidik. Pemerataan pendidikan harus dijadikan tujuan bersama, dengan memperhatikan karakteristik siswa di setiap daerah. Membangun motivasi belajar, memperbaiki kualitas pembelajaran, dan menciptakan sistem pendidikan yang lebih merata akan membawa kita lebih dekat pada cita-cita Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai guru, saya berharap tantangan ini tidak hanya saya hadapi sendirian, tetapi juga dengan dukungan seluruh elemen bangsa untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik dan lebih adil.