Mohon tunggu...
Lawni Tenisa
Lawni Tenisa Mohon Tunggu... karyawan -

Seorang penikmat secangkir kopi, sepiring pisang goreng, dan obrolan hangat di beranda belakang rumah sembari berandai-andai dapat melihat kunang-kunang di pojok ruang kota yang berjejalan dengan polusi. Jurnal keseharian saya terdapat di http://sunshowers.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Putu dan Putu

27 Desember 2009   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:45 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihat Senyuman Mereka Fuuuuuuuuuuuu… Bunyi nyaring uap panas yang terlepas dari kaleng bekas biskuit memaksaku menoleh ke arah pintu depan. Penjual kue putu sedang beraksi tepat di depan halaman rumahku. Yang membuat kesempatan itu menjadi spesial adalah kehadiran lima anak balita yang mengerumuni tukang kue putu. Bukannya tanpa alasan mereka tampak sangat senang berkumpul di sekitar tukang kue putu. Mereka berkerumun tak lain tak bukan adalah karena dikumpulkan oleh Bapak. Senyum lebar mereka terpancar disertai dengan pertunjukan gigi-gigi mereka yang sebagian digerogoti oleh permen berpewarna dan berbahan pengawet, “gigis”. Kesenangan anak-anak tadi berlipat-lipat. Bukan hanya saja asyik melihat Tukang Putu menunjukkan kebolehannya mengolah tepung dalam tabung bambu yang tengahnya disusupi sekerat gula jawa, mereka juga masing-masing dijanjikan mendapat jatah satu atau dua kue putu yang dicukongi oleh Bapak. Bahkan seorang anak yang semula menolak tak kuasa menampik pesona kue putu gratisan. Setelah kue putu panas tersaji lengkap dengan taburan parutan kelapa tua yang gurih, sebuah pembagian yang adil dilakukan di antara mereka. Pasukan cilik tersebut langsung membubarkan diri dengan membahanakan “Terima kasih, Eyang!” sekenanya tanpa komando.

Bapak dan Putu

Perlahan aku cerna adegan ini: Bapak membeli kue putu untuk anak-anak yang memanggilnya Eyang. Akan menjadi lebih shahih kalau mereka juga disebut “putu”, cucu. Alamakjang, bagi lajang sepertiku, hal ini adalah sebuah pertanda! NB: tulisan yg sama juga dapat dinikmati di http://sunshowers.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun