Tanah bentong merupakan julukan untuk komunitas masyarakat yang berada di jazirah selatan kabupaten Barru. Desa Bulo-Bulo,Kecamatan Pujananting,Sul-sel.
Mengapa kemudian ini dikatakan sebagai tanah bentong ? Tak lain dan tak bukan karena penggunaan bahasa dan kosa kata tersendiri. Walau pada dasarnya mereka adalah perbauran keturunan suku Bugis dan Makassar.
Bahasa tersendiri itu merupakan gabungan dari kosa kata Bugis,Makassar,Konjo dan Mandar. Serta kosakata tersendiri yang tidak terdapat pada bahasa-bahasa yang di atas tadi. Makanya bahasa mereka dijuluki bahasa bentong.
Hanya di desa ini dijumpai penggunaan bahasa bentong ini. Desa tetangga menggunakan bahasa Bugis.Ini merupakan sebuah keunikan tersendiri. Sampai sekarang mereka masih mempergunakan bahasa ini.
Yang menarik dari sisi lain,pada komunitas masyarakat bentong ada rumpun keluarga to balo. To berarti manusia dan balo artinya belang. Disinyalir merupakan rumpun keluarga berkulit belang turun temurun yang satu-satunya ada di indonesia.
Rumpun keluarga ini terletak pada dusun Labaka. Satu keluarga yang mempunyai anak keturunan belang 3 orang. Kelainan kulit ini bersumber dari sang ayah yang belang. 2 anak lainnya berkulit normal mengikuti ibunya yang tak memiliki kelainan kulit. 1 keluarga lain yang berada di ujung dusun namun tak memiliki anak. Seorang perempuan yang sudah berumur kurang lebih setengah abad.
Yang kedua, pendapat tentang apa yang terdapat pada tubuh mereka adalah vitiligo dengan bercak-bercak putik pada sekujur tubuh. Sedikit ada perbedaan jika pada piebaldisme kelainan kulit ini sejak lahir namun pada vitiligo kelainan ini bisa menghinggapi seseorang ketika Kecil sampai dewasa.
Dalam kepercayaan masyarakat kelainan kulit itu pengaruh dari sebuah kutukan yang memiliki versi berbeda-beda. Ada karena tak menepati nadzarnya,ada juga karena mengusik kuda yang sedang bercinta menyebabkan kemarahan dewata.akhirnya mengutuk para pengusik ini dengan kulit belang.
Yang menarik dibahas adalah proses interaksi mereka dengan masyarakat. Dari berbagai sumber yang beredar di internet,mereka dianggap sebagai suku terasing. Kemudian menonjolkan sebuah mistisme tentang kesaktian to balo yang kebal senjata tajam. Kepercayaan lain dari segi jumlahnya yang tidak akan lebih dari 10 orang. Kepercayaan dulu bahwa kakek buyut mereka memiliki kesaktian. Entah dengan anak cucu mereka sekarang.
Dulu rumpun keluarga tak mau bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Pameo yang berkembang di masyarakat bahwa mereka adalah keluarga kutukan. Terkadang dalam pergaulan masyarakat menjaga jarak. Oleh karena itu mereka kemudian memilih menjauh dari pemukiman warga dan membentuk lingkungan sendiri.
Jumlah mereka yang tak bisa lebih 10 menjadi pertanyaan yang mengusik. Menurut masyarakat bahwa ketika sampai pada jumlah 10 yang lainnya akan meninggal. Dan kenyataan sekarang memang jumlah rumpun keluarga ini hanya tersisa 6 orang dari dua keluarga. Perlu melihat perkembangan untuk masa yang akan datang apa tidak sampai 10 orang ataukah rumpun to balo akan hilang. Menjadi manusia berkulit normal. Salah satu solusinya adalah menikah dengan manusia berkulit normal.
Kini walau hanya tersisa 6 orang,mereka sudah berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat lain. Dalam kehidupan sosial masyarakat pun tak menganggap bahwa rumpun to balo adalah manusia yang perlu dikucilkan.
Terbukti rumpun keluarga to balo ini mulai terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan,mereka pun menerima teknologi dan memamfaatkannya. Hal ini berkat program inklusi sosial pemerintah desa dalam menghilangkan perbedaan-perbedaan yang berdasar atas berbagai perbedaan fisik yang ada.
Berkat inklusi sosial ini,salah satu rumpun keluarga ini dilibatkan dalam proses pemilukada sebagai hansip pengamanan. Anggota keluarga pun mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti alat pertanian dan perumahan serta bantuan sosial Program Keluarga Harapan pengentasan kemiskinan.
Anak generasi mereka pun mulai bersekolah menuntut ilmu. Tulisan ini mencoba membantah berbagai kabar tentang keberadaan rumpun keluarga ini. Pertama,mereka bukan suku namun hanya rumpun keluarga. Mereka tetaplah bersuku Bugis.
Kedua,mereka bukan komunitas terasing. Sarana dan prasarana jalan dan jembatan untuk menjangkau rumah mereka telah tersedia. Ketiga, mereka tidak kebal senjata tajam menurut penuturan mereka serta kesaksian masyarakat sekitar.
Mereka hidup dari pertanian dan proses pembuatan gula aren.Menikmati kehidupan mereka sebagai masyarakat daerah pelosok yang hidup sederhana. Bercengkerama dengan keluarga kecilnya disela-sela jeda dalam rutinitas pekerjaan.
Tak heran dalam setiap bulan, ada-ada saja masyarakat yang datang berkunjung. Dan setiap yang datang akan dilayani dengan ramah dan disuguhi tuak manis.
Keluarga yang ditinggalkan pun akan selalu menunggu dengan setia. Mereka bersenandung tentang keindahan lingkungan mereka. Sebuah senandung merdu dari tanah bentong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H