Jumlah mereka yang tak bisa lebih 10 menjadi pertanyaan yang mengusik. Menurut masyarakat bahwa ketika sampai pada jumlah 10 yang lainnya akan meninggal. Dan kenyataan sekarang memang jumlah rumpun keluarga ini hanya tersisa 6 orang dari dua keluarga. Perlu melihat perkembangan untuk masa yang akan datang apa tidak sampai 10 orang ataukah rumpun to balo akan hilang. Menjadi manusia berkulit normal. Salah satu solusinya adalah menikah dengan manusia berkulit normal.
Kini walau hanya tersisa 6 orang,mereka sudah berbaur dan berinteraksi dengan masyarakat lain. Dalam kehidupan sosial masyarakat pun tak menganggap bahwa rumpun to balo adalah manusia yang perlu dikucilkan.
Terbukti rumpun keluarga to balo ini mulai terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan,mereka pun menerima teknologi dan memamfaatkannya. Hal ini berkat program inklusi sosial pemerintah desa dalam menghilangkan perbedaan-perbedaan yang berdasar atas berbagai perbedaan fisik yang ada.
Berkat inklusi sosial ini,salah satu rumpun keluarga ini dilibatkan dalam proses pemilukada sebagai hansip pengamanan. Anggota keluarga pun mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti alat pertanian dan perumahan serta bantuan sosial Program Keluarga Harapan pengentasan kemiskinan.
Anak generasi mereka pun mulai bersekolah menuntut ilmu. Tulisan ini mencoba membantah berbagai kabar tentang keberadaan rumpun keluarga ini. Pertama,mereka bukan suku namun hanya rumpun keluarga. Mereka tetaplah bersuku Bugis.
Kedua,mereka bukan komunitas terasing. Sarana dan prasarana jalan dan jembatan untuk menjangkau rumah mereka telah tersedia. Ketiga, mereka tidak kebal senjata tajam menurut penuturan mereka serta kesaksian masyarakat sekitar.
Mereka hidup dari pertanian dan proses pembuatan gula aren.Menikmati kehidupan mereka sebagai masyarakat daerah pelosok yang hidup sederhana. Bercengkerama dengan keluarga kecilnya disela-sela jeda dalam rutinitas pekerjaan.
Tak heran dalam setiap bulan, ada-ada saja masyarakat yang datang berkunjung. Dan setiap yang datang akan dilayani dengan ramah dan disuguhi tuak manis.
Keluarga yang ditinggalkan pun akan selalu menunggu dengan setia. Mereka bersenandung tentang keindahan lingkungan mereka. Sebuah senandung merdu dari tanah bentong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H