Mohon tunggu...
Kosmas Lawa Bagho
Kosmas Lawa Bagho Mohon Tunggu... Auditor - Wiraswasta

Hidup untuk berbagi dan rela untuk tidak diperhitungkan, menulis apa yang dialami, dilihat sesuai fakta dan data secara jujur berdasarkan kata hati nurani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menolak Perubahan

28 November 2017   16:52 Diperbarui: 28 November 2017   17:04 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naomi Susan dalam bukunya, "Be Negative = Jadilah Negatif"(2007) pernah menulis, "Anda memiliki kebebasan untuk memilih. Tetapi, mengapa Anda memilih untuk tetap berada dalam keadaan yang sama setiap harinya dan tidak bergerak lebih maju selangkah demi selangkah?"

Sesungguhnya pada titik ini, Naomi sedang berbicara lantang tentang perubahan. Perubahan adalah harga mati bagi setiap orang dalam melakukan usaha apapun di planet bumi ini untuk suatu kehidupan yang lebih bermartabat ke depannya. Kendati demikian, aktivitas perubahan butuh perjuangan, butuh pengorbanan ekstra, sebab setiap kali mendengar kata perubahan, reaksi kebanyakan orang adalah kaget, gelisah, jengkel, marah, memberontak dan menolak. 

Dalam era kompetisi global seperti saat ini, setiap bisnis (koperasi kredit) pasti berhadapan dengan persaingan dalam berbagai aspek: mulai dari kualitas anggota, kualitas produk pendidikan kritis, kualitas produk simpanan dan pinjaman, harga (besarnya bunga simpanan dan bunga pinjaman yang kompetitif) hingga pelayanan yang purna mutu dalam selimut untuk terus melakukan perubahan dan inovasi tanpa henti.

Sayangnya para pebisnis ataupun anggota koperasi kredit kerapkali memiliki resistensi terhadap perubahan yang disodorkan oleh pengurus/pengawas dan para manajer bersama pengelolanya. Sebagian anggota (orang-orang tertentu) sangat enggan untuk meninggalkan zona nyaman yang selama ini mereka cintai untuk berpindah ke suatu wilayah yang belum jelas (ketidakpastian). 

Selaras dengan aras pemikiran di atas, Prof. Rhenald Kasali, Phd dalam bukunya,"Re-Code Your Change DNA: Membebaskan Belenggu-Belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Perubahan,"(2007) mengeritik cukup tajam dengan menulis,"Banyak orang yang jujur, setia dan pintar ternyata tak menjadi apa-apa, bahkan mereka frustrasi dan berpandangan negatif terhadap segala hal. Kenapa? Karena mereka sejak awal berlindung di bawah selimut kenyamanan (comfort zone). Pada hal untuk berubah dibutuhkan keberanian untuk keluar dari selimut itu dan bergelut dengan ketidaknyamanan (danger zone). Perubahan menghantar kita untuk hidup lebih bergairah, penuh dinamika dan keberhasilan yang lebih berkualitas dan bermartabat." 

Oleh karena itu, perubahan boleh dikatakan sebagai magnet tersendiri bagi manusia modern untuk melakukannya. Akan tetapi banyak orang enggan berubah.

 Ada beberapa alasan, mengapa orang tidak mau berubah:

a.    Yang lama sudah terbukti bagus. Alasan ini disampaikan karena apa yang telah dilakukan pada masa lampau sudah terbukti bagus, lancar, mulus dan sukses. Jadi buat apa berubah? Untuk apa meninggalkan sesuatu yang sudah pasti menuju sesuatu yang belum pasti? Tidak masuk akal bukan? Selama ini tidak ada yang komplain dengan pelayanan dan produk yang kita telah tawarkan kepada anggota maupun masyarakat. Pokoknya, mengapa mau berubah dalam ketidakpastian dengan segala celotehan apologetis (argumentasi pembenaran diri) lainnya untuk tidak mau berubah.

b.   Rasa takut.Orang tidak mau berubah karena takut. Waduh, jangan-jangan. Itulah kata-kata yang selalu dilontarkan oleh orang-orang merasa takut untuk berubah. Kalau melakukan kebiasaan lama, mereka sudah mengetahui risiko dan konsekuensinya. Sedangkan perubahan membuat suatu wilayah baru yang tidak jelas dampaknya bagi mereka. Perubahan harus melibatkan mindset, mental dan fisik. Oleh karena itu, bagi sebagian besar orang merasa takut untuk beralih (passing over) meski perubahan itu menjanjikan perbaikan yang lebih dan lebih.

c.    Rasa curiga. Rasa curiga hinggap manakala terjadi perubahan, apalagi perubahan itu terjadi dalam kondisi dengan komunikasi yang kurang harmonis berbagai komponen yang ada di dalam organisasi. Perubahan bagi sebagian orang merasa ada udang di balik batu. Mereka mengingatkan bahkan mengompori rekan-rekan lainnya untuk waspada dan bertahan pada apa yang sudah ada. Akibatnya, perubahan tidak akan terjadi. Hal ini diperkuat lagi dengan naluri dasariah setiap manusia adalah mencari keamanan dan menghindari bahaya. Perubahan bagi orang-orang yang curiga dianggap sebagai bahaya sehingga dengan cara apapun harus dihindari.

James Gwee dalam bukunya,"Setiap Manajer Harus Baca Buku Ini! Tips dan kiat melakukan perubahan yang tepat & pas di tengah ketidakpastian"(2009), menyoroti sekurang-kurangnya  ada tiga tipe kelompok dalam menghadapi perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun