Saya sesungguhnya salah seorang pengagum Effendi Gazali dan temannya sebagai pengamat memberikan pencerahan dan pencerdasan bagi masyarakat terutama masyarakat seperti saya. Dalam ulasan atau tulisan mereka senantiasa mengangkat fakta dan memberikan solusi. Apa pun yang diamati keduanya.
Keadaan seperti itu, saya saksikan dan kagumi sebelum hingar bingar perhelatan kampanye capres dan cawapres menuju pilpres tanggal 9 Juli 2014. Hingga saat ini keduanya masih netral sebagai pengamat politik atau lebih dikenal sebagai pengamat komunikasi publik (politik).
Namun keduanya sudah sangat berubah saat ini. Paling tidak saya melihat sejak wawancara beliau berdua dalam acara setengah demokrasi pada salah satu saluran televisi swasta. Sejak penarikan undian apalagi pada saat deklarasi pilpres damai beberapa waktu lalu. Sorotan keduanya lebih meningkatkan pasangan yang satu dan berusaha sedemikian menurunkan pasangan yang lainnya.
Apa pun yang dilakukan pasangan yang kurang disenangi keduanya, dikritik habis-habisan bahkan memberikan skor yang membuat banyak orang terperangah. Namun waktu penarikan undian dan deklarasi pemilu damai mungkin masih saya maklumi dan terima dengan senang hati. Sebuah kritikan yang membangun untuk sebuah perubahan. Pasangan jagoan saya memang kelihatan masih agak canggung dll meski pesan yang disampaikan cukup jelas.
Namun setelah acara debat perdana, Senin malam, 9 Juni 2014, banyak masyarakat dan sebagian pengamat yang masih setia pada profesinya dan berusaha netral memberikan catatan kelemahan dan kelebihan kedua pasangan calon memberikan apresiasi positif meski ada catatan-catatan kritis, keduanya malah melihat hal-hal yang sangat sepele dan dibahas dalam acara setengah demokrasi.
Tadi malam 12 Juni 2014, hal itu terulang lagi. Keduanya bahkan dengan seenaknya bercanda menyelipkan kertas mengikuti salah satu pasangan calon lakukan pada debat tanggal 9 Juni lalu, sambil menertawakan apa yang dilakukan tanpa memberikan kecerdasan dan pencerahan wawasan kepada pemirsa yang hadir langsung di studio maupun di rumah.
Bung Effendi Gazali dan temannya sudah berubah. Namun sayang, keduanya masing menggunakan status pengamat bukan timses salah satu pasangan meski dalam paparan mereka kadang tidak propersional dan lebih memihak salah satu pasangan yang mereka jagokan. Untuk keberpihakan pada salah satu pasangan capres-cawapres itulah hak setiap pribadi dalam dunia demokrasi dan diperkuatkan dengan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.
Namun akan lebih bijak, beralih profesi sebagai timses apabila dalam pemaparan di mana pun selalu mendiskreditkan salah satu pihak dan mengangkat setinggi-tingginya pihak yang dijagokan. Rasanya saya secara pribadi merasa tidak fair. Hendaknya bapak berdua tidak menggadaikan kepakaran anda berdua sebagai pengamat yang proporsional, cerdas dan mencerahkan seperti yang saya alami dahulu. Saya mendambakan pengamat yang memberikan pencerahan meski harus mengeritik yang kurang dan memberikan apresiasi apabila ada prestasi secara berimbang. Calon pemimpin kita tetaplah manusia. Mereka juga butuh masukan dari para pakar (pengamat) namun yang cerdaslah bukan hanya soal kertas, mimik atau cara pandang. Berikan perbaikan subtansi visi, misi dan program yang memang harus mereka lakukan apabila mereka diberikan 'amanah' oleh masyarakat. Tidak membahas hal-hal yang tidak bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat dan kedaulatan negara bekerjasama dengan sahabat-sahabat negara tetangga di Asia maupun dunia. Itu lebih penting dari seorang pengamat. (Mohon maaf apabila kurang berkenan dan kita berbeda pandangan).
Untuk itu, saya memberikan saran kecil kepada Effendi Gazali dan temannya sebagai narasumber dalam acara '1/2 demokrasi' tidak lagi mengenakan profesi sebagai pengamat tetapi malah lebih tepat sebagai tim sukses (timses) agar menjadi jelas dan terang benderang. Untuk acara '1/2 demokrasi' sudah tidak memberikan pendidikan politik yang cerdas dan tidak mendidik kepada publik terutama saya secara pribadi maka ada baiknya dihentikan sementara hingga 9 Juli 2014.
Namun ini hanya pandangan pribadi. Harapan saya, media televisi hendaknya memberitakan secara berimbang dan cerdas agar memberikan pendidikan politik yang bermartabat bagi generasi mendatang. Perbedaan keberpihakan tidak membuat kita tidak lagi proporsional dan profesional. Kita memberitakan hal-hal yang lebih substantif untuk perubahan negeri ini yang lebih maju dan bermartabat. Kebenaran dan fakta serta memberikan kemanfaatan bagi publik menjadi keharusan bagi media.
Salam Demokrasi dari Ende, Flores, NTT; 13 Juni 2014
Kosmas Lawa Bagho
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H