Budaya kekerasan semakin merebak setelah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dihukum penjara karena terbukti bersalah telah menista agama. Aksi premanisme yang mulai menjalar di beberapa daerah, tak lain karena dimotori oleh para pendukung Ahok yang tak rela menerima putusan hakim, yang menjerat junjungan mereka dua tahun kurungan. Bahkan, di salah satu daerah, kelompok itu diduga sudah mengarah ke gerakan separatis yang menuntut referendum untuk memisahkan diri dari bangsa ini.
Daerah itu adalah di Manado, Sulawesi Utara. Sekelompok orang sudah mulai menyuarakan Minahasa merdeka, lantaran Ahok tak kunjung dibebaskan. Mereka bahkan telah mempunyai bendera sendiri, berwarna merah dengan bergaris silang biru berisi bintang-bintang berwarna putih. Ini jelas bukan perkara main-main. Mereka telah berbuat makar terhadap NKRI.
Sejumlah media setempat telah memberitakan hal ini. Pendukung Ahok di daerah tersebut terang-terangan mengancam jika Ahok ditahan, maka mereka ingin merdeka. Aksi itu mereka sebut sebagai Gerakan Minahasa Raya. Para penggerak aksi tersebut kemudian menggalang kekuatan di media sosial untuk bersama-sama melancarkan tuntutan referendum kemerdekaan.
Aksi radikal mereka tak berhenti di situ saja. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang melakukan kunjungan kerja ke Manado pada Sabtu (13/5/2017), juga mendapat sambutan yang tidak mengenakkan dari warga setempat. Ia diusir, bahkan, keselamatannya sempat terancam, karena ratusan orang bersenjata tajam berhasil memasuki area bandara Sam Ratulangi, tempat pesawat yang ditumpangi wakil rakyat itu mendarat.
Para demonstran itu meneriakkan kata-kata perang, sambil mengacung-acungkan parang. Mereka bersikap intoleran dan radikal dalam menolak Fahri yang dianggap tidak toleran dan memberi ruang kepada kelompok radikal. Sungguh sebuah ironi.
Perilaku yang sangat norak, kriminal dan abnormal. Celakanya, semua itu dilakukan dengan sangat enteng, tanpa dosa. Bahkan, diyakini sebagai sebuah kebajikan, lantaran mereka merasa sedang menegakkan Pancasila dan membela keutuhan negara. Karena itu, dilampiaskan dengan penuh semangat. Tampaknya sudah terbolak-balik pemahaman kita tentang arti keberagaman dan perbedaan pandangan.
Namun anehnya, polisi menutup mata. Kapolri Tito Karnavian tak kelihatan puncak hidungnya. Beda sikap yang ia perlihatkan kala menghadapi tuntutan umat Islam yang meminta keadilan. Meski aksi digelar dengan damai, massa tetap saja digembosi dan diprovokasi. Para tokohnya ditangkapi dengan tuduhan makar. Tudingan yang bagi banyak orang, dinilai sangat mengada-ada. Wajar saja jika rakyat Indonesia mulai meragukan independensi Tito dalam memimpin Korps Bhayangkara. Dugaan bahwa dia lebih berpihak kepada Ahok, semakin sulit terbantahkan.
Saat demonstrasi umat Islam, Tito selalu tampil di media. Meminta massa mentaati aturan hukum, dan mengancam akan mengambil tindakan tegas, jika tidak diindahkan. Sebelum aksi, helikopter polisi berseliweran di angkasa Ibu Kota sembari menebar selebaran berisi maklumat kapolda tentang aturan penyampaian pendapat di muka umum. Ketegasan aparat sudah seperti hendak menghadapi perang saja.
Tetapi, ketika pendukung Ahok berdemo, berlaku anarkistis, melewati batas waktu, menyandera pegawai pengadilan, menduduki bandara dengan membawa senjata guna mengusir pimpinan lembaga negara, Tito hilang entah ke mana. Tidak ada lagi imbauan-imbauan seperti dulu. Tiada lagi ancaman penindakan, atau helikopter yang berseliweran.
Karenanya, sepanjang hari kemaren, Senin (15/5/2017), para pengguna Twitter ramai-ramai mencuitkan tagar #DimanaTito, sehingga menjadi trending topic Indonesia. Para netizen ingin melihat kembali ketegasan sikap dari mantan kepala Densus 88 itu. Banyak yang bertanya, apa benar ia serius dalam penegakan aturan hukum, atau dulu hanya sekedar upaya membela kroni penguasa?
Waktu lalu, ia dikritik karena menangkap ulama dan aktivis nasionalis dengan alasan makar, yang hingga saat ini belum mampu ia buktikan. Berkas perkaranya bolak-balik ke Kejaksaan karena belum cukup alat bukti. Kini ia kembali mendapat sorotan lagi, saat ada dugaan makar yang terjadi di ruang publik, tetapi ia tidak kunjung bertindak.
Riak-riak radikalisme di masyarakat telah semakin terlihat. Potensi konflik horizontal mulai tampak. Polisi harus segera turun tangan. Tito harus kembali menjadi garda terdepan. Pemerintah juga tidak boleh berdiam diri. Jangan sampai perpecahan rakyat terjadi. Habis negeri ini. Jokowi sebagai pemegang kendali, rangkullah rakyatmu. Pemilihmu atau tidak, janganlah dikotak-kotakkan.
Sebagai anak bangsa kita juga harus saling menyadari. Konflik cuma akan menghancurkan diri kita sendiri. Kita masyarakat majemuk, perbedaan itu biasa. Tetapi hukum tetap harus menjadi panglima, yang harus kita taati bersama. Ahok telah terbukti menista agama, semua pihak harus bisa menerima. Kenapa kita begitu bodoh, membiarkan bangsa ini pecah, hanya gara-gara mulut seorang kepala daerah yang tidak bisa dijaga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H