Mohon tunggu...
Lavie Lengkey
Lavie Lengkey Mohon Tunggu... Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) -

Seorang calon pegawai negeri yang senang travelling, khususnya menggunakan moda transportasi kereta api. Pemilik blog mengenai kereta api, http://idrailnews.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jalur Kereta Api Priangan, Eksotis tapi Rawan Bencana

15 Maret 2016   11:48 Diperbarui: 15 Maret 2016   14:31 1750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Kereta api Argo Wilis di Stasiun Cirahayu. (sumber dokumentasi pribadi) "][/caption] 

Naik kereta api, tut tut tut! Siapa hendak turut? Ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma. Ayo, kawanku, lekas naik! Keretaku tak berhenti lama...

Siapa yang tidak mengenal lagu anak-anak tersebut? Tentu semua orang Indonesia tahu. Lagu yang seakan ingin mengajak kita untuk naik kereta api.

Lalu, apa kira-kira alasan yang tepat untuk naik kereta api? Menurut saya, salah satunya adalah tentunya untuk duduk manis di dalam kereta, diantarkan dari satu tempat ke tempat lain, sambil menikmati indahnya pemandangan di sepanjang perjalanan. Apalagi kalau duduk di kereta paling belakang (bukan gerbong, karena istilah gerbong itu untuk angkutan barang), dan bisa melihat liukan lokomotif dan rangkaian kereta yang saling tersambung. Bukan berarti jalan-jalan dengan moda transportasi lain kita tidak bisa menikmati pemandangan yang indah. Naik pesawat, bisa menikmati hamparan awan putih, bahkan berkesempatan melihat pesawat lainnya yang sedang terbang di wilayah udara yang sama, entah tujuannya sama atau berbeda. Naik kapal laut, bisa menikmati biru dan tenangnya laut. Naik moda transportasi darat lainnya (bus, kendaraan pribadi, dll.), juga bisa menikmati pemandangan di sekitar, entah itu persawahan yang membentang di kiri-kanan jalan, pepohonan seperti yang digambarkan dalam lagu anak-anak "Naik-Naik Ke Puncak Gunung", atau bahkan rumah-rumah dan gedung-gedung yang berdempetan satu sama lain, kalau sedang melintas di tengah kota. 

Tapi, bagi saya pribadi, jauh lebih menikmati bepergian naik kereta api dibandingkan moda transportasi lainnya. Mungkin juga dipengaruhi pengalaman masa kecil, sering bepergian Bandung-Jakarta bolak-balik naik dua kereta yang kini tinggallah kenangan: Argo Gede dan Parahyangan (per 27 April 2010 "dilebur" menjadi Argo Parahyangan). Ujung-ujungnya, saya pun menjadi seorang pecinta (atau penggemar, mana yang lebih tepat?) kereta api (railfans).

"Jalur Kereta Api Priangan, Eksotis Juga Rawan Bencana". Mengapa saya tiba-tiba ingin menulis artikel dengan judul tersebut? Minggu (13/03) pagi yang lalu orang tua saya sedang menyaksikan berita di Kompas TV; salah satu topik yang diberitakan adalah mengenai kejadian tanah longsor di sejumlah tempat. Hal yang menarik perhatian saya adalah ketika sang pembaca berita menyampaikan bahwa telah terjadi longsor di jalur kereta api di daerah Ciamis, tepatnya di petak jalur antara Stasiun Ciamis dengan Stasiun Bojong pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 yang lalu. Akibat dari tergerusnya tanah di bawah rel sepanjang kurang lebih 30 meter (menurut info yang dirilis lewat akun Twitter @KAI121), sebanyak 8 perjalanan kereta api yang melintasi jalur Bandung-Banjar harus dialihkan lewat jalur utara (Cikampek-Cirebon, kemudian belok ke arah Purwokerto) pada tanggal 12 Maret, dan keesokan harinya sejumlah perjalanan KA pada jalur tersebut mengalami keterlambatan walau tidak perlu dialihkan ke utara.

[caption caption="Longsor di rel kereta api petak Ciamis-Bojong, 12 Maret 2016 (sumber foto: screenshot berita Kompas Pagi)"]

[/caption]

Melihat dari sejarahnya, Priangan merupakan sebuah karesidenan pada era kolonial dahulu, yang bila disetarakan dengan pembagian administratif daerah Jawa Barat sekarang ini, mencakup wilayah kota dan kabupaten (dari barat ke timur) Cianjur, area Bandung Raya (Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, Kab. Bandung), Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, dan Pangandaran. Koreksi saya bila ternyata salah, karena dari hasil penelusuran di internet, ada juga yang memasukkan wilayah Bogor dan Sukabumi ke dalam wilayah Priangan, juga ada yang tidak memasukkan wilayah Ciamis dan Pangandaran. Priangan dikenal dengan kenampakan alam daratannya yang beragam, mulai dari dataran rendah, perbukitan, hingga pegunungan. Keindahan alam Priangan salah satunya dapat dinikmati dengan cara naik kereta api melewati jalur antara Bandung dengan Banjar atau sebaliknya.

Jalur kereta api yang masuk dalam Daerah Operasi (DAOP) II Bandung tersebut dikenal sebagai jalur kereta api yang paling eksotis. Naik turun gunung, meliuk ke kiri dan ke kanan mengikuti kontur dinding tebing, meniti jembatan yang membentang di atas sungai, hingga jalur yang membelah area persawahan. Salah satu spot di jalur KA Bandung-Banjar yang terkenal di kalangan para pecinta kereta api (railfans) adalah Stasiun Lebakjero. Meskipun tergolong susah diakses (letaknya hampir 1 km dari jalan raya Nagreg-Garut, dan hanya dihubungkan dengan jalan kecil yang melintasi rumah-rumah warga), tapi keindahan panorama alam disekitarnya, ditambah bentuk jalur kereta api yang menyerupai huruf S, membuat banyak orang (khususnya para railfans) berdatangan ke stasiun tersebut hanya untuk mengabadikan momen ketika sang ular besi meliuk melintasi Stasiun Lebakjero, dengan latar belakang pegunungan dan juga kebun para warga yang berada di sekeliling stasiun. 

Bahkan ada juga yang sampai bermalam di sana, dikarenakan mayoritas kereta api jarak jauh melintas di stasiun ini pada waktu subuh sampai dengan sekitar jam 9 pagi. Selebihnya, hanya ada KA Serayu yang melintas di siang hari, menyusul KA Kutojaya Selatan dari Kutoarjo dan KA Lodaya Pagi dari Solo; sisanya baru akan melintas setelah langit (mulai) gelap. Saya sendiri belum berkesempatan menyambangi "spot sejuta umat" itu dikarenakan kendala mengatur waktu dan jarak tempuh menuju TKP, sehingga untuk artikel ini "terpaksa" harus meminjam foto dari blog seorang railfan yang sudah pernah ke sana. Menurut saya, tidak cukup menggambarkan keindahan panorama Lebakjero hanya dengan kata-kata, sehingga harus dilengkapi dengan foto.

[caption caption="KA Turangga di Stasiun Lebakjero (sumber foto: Ricky Rianto)"]

[/caption]

Tentunya pengalaman naik kereta melewati jalur Bandung-Banjar dan sebaliknya berbeda sekali dengan pengalaman naik kereta Jakarta-Surabaya lewat jalur utara yang cenderung datar-datar saja (walau di jalur tersebut kita bisa melihat laut dari dalam kereta). Tapi, jalur kereta api yang begitu eksotis itu juga ternyata yang paling rawan bencana. Daerah Priangan merupakan daerah yang rawan mengalami bencana tanah longsor, tak terkecuali di wilayah yang dilalui jalur kereta api antara Bandung dengan Banjar. Kasus terakhir baru saja terjadi hari Sabtu, 12 Maret 2016 yang lalu. Sekitar pukul 17:30, tanah sepanjang 30 meter di bawah jalur kereta api petak Ciamis-Bojong, tepatnya di kilometer 293, tergerus air hingga kedalaman 6 meter.

Berdasarkan berita yang saya dengar dari siaran Kompas TV pada Minggu pagi, kejadian tersebut segera diketahui warga setempat dan langsung dilaporkan ke petugas PT KAI sebelum ada kereta yang lewat. Saat itu, posisi kereta yang paling dekat dengan TKP, adalah KA Pasundan rute Surabaya-Bandung (tertahan di Stasiun Banjar) dan KA Mutiara Selatan rute Bandung-Surabaya (tertahan di Stasiun Tasikmalaya). Bisa dibayangkan, bila tidak ada warga atau petugas KAI yang mengetahui adanya longsor di petak tersebut, dan salah satu dari kedua rangkaian kereta yang saya sebutkan di atas keburu melintas di TKP, maka kecelakaan pun takkan mungkin terhindarkan.

Jika melihat ke belakang, setidaknya sepuluh tahun terakhir, telah terjadi sedikitnya dua kecelakaan kereta api di jalur KA Bandung-Banjar yang diakibatkan tanah longsor, salah satunya hingga mengakibatkan korban tewas. Tahun 2007, Kereta Api Serayu (Jakarta-Kroya) anjlok di petak Warungbandrek-Bumiwaluya, mengakibatkan tujuh orang luka berat dan 17 orang lainnya luka ringan (sumber berita Antaranews.com dan Suaramerdeka.com).

[caption caption="KA Serayu yang anjlok di petak Warungbandrek-Bumiwaluya, 21 April 2007 (sumber foto: Suara Merdeka)"]

[/caption]

Tahun 2014, tepatnya tanggal 4 April, Kereta Api Malabar (Bandung-Malang) terguling di petak Cirahayu-Ciawi, mengakibatkan 5 orang meninggal dunia dan sejumlah korban luka-luka (sumber berita Kompas.com dan Republika.co.id).

[caption caption="KA Malabar yang anjlok di petak Cirahayu Ciawi, 04 April 2014 (sumber foto: Republika Online)"]

[/caption]

Mengingat risiko longsor yang cukup besar di daerah tersebut, maka PT KAI DAOP II Bandung rutin melakukan pemeriksaan kondisi rel, bantalan, dan terutama tanah di sepanjang jalur KA yang membentang dari Kota Bandung hingga Kota Banjar tersebut (dan juga jalur KA lainnya di lingkup DAOP II), khususnya ketika memasuki musim hujan. Bagaimanapun juga, risiko terjadinya longsor di jalur kereta api tersebut tetap saja ada. Bukan berarti lantas kita menjadi ketakutan untuk menggunakan angkutan kereta api. Jangan lupa untuk selalu berdoa sebelum melakukan perjalanan, supaya selamat sampai tujuan.

[caption caption="Hamparan sawah berlatar belakang gunung, dilihat dari dalam KA Lodaya Pagi di daerah Leles, Garut, Jawa Barat (sumber dokumentasi pribadi)"]

[/caption]

Sekian ulasan dari saya mengenai jalur kereta api Bandung-Banjar, semoga bisa membuat para pembaca tertarik untuk menikmati keindahan alam Priangan dari dalam kereta api yang melintasi jalur tersebut.

Salam dari seorang railfan DAOP II Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun