Mohon tunggu...
Rauf Rahim
Rauf Rahim Mohon Tunggu... Administrasi - Literasi

Rauf Rahim, tinggal di Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Identitas Tunggal dan Kekerasan

8 April 2019   17:19 Diperbarui: 9 April 2019   07:37 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas pasti melekat pada seseorang. Selain sebagai pengenal, identitas juga menjadi pembeda. Indentitas sering menjadi alasan berkumpul. Identitas menurut KKBI adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.

Identitas sesungguhnya tidak tunggal. Setiap manusia memiliki banyak identitas yang membedakan dengan identitas lain sekaligus menyamakan dengan identitas lainnya pula.

Teror dan pembunuhan yang terjadi di Selandia Baru menggugah perhatian seluruh manusia didunia. Aksi yang dilakukan di dua mesjid tersebut mengingatkan kita bahwa terorisme masih menjadi musuh utama didunia ini. 

Belum diketahui secara pasti apa motif dari kejahatan tersebut. Namun pembunuhan yang dilakukan di masjid dan tulisan di senjata pelaku tentang aksi teror lainnya di negara lain, pemberontakan pada zaman Turki Utsmaniah dan perang Serbia-Bosnia (today/line.me) menunjukkan bahwa aksinya didukung niat penyerangan terhadap golongan tertentu .

Setidaknya 49 orang meningal dunia dalam teror tersebut. Korban berasal dari berbagai negara. Pemerintah selandia baru disebutkan berkoordinasi dengan perwakilan negara Pakistan, Turki, Arab Saudi, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia (mediaindonesia.com).

 Tulisan ini tidak membahas tentang kasus teror yang terjadi di Selandia Baru. Penulis mencoba berbagi pemikiran dan keresahan terkait hal yang mendasar dalam aksi tersebut, yaitu pembunuhan berdasar identitas.


Kekerasan dan Identitas Tunggal
Penembakan dilakukan di Masjid dalam kota yang bernama Cristchurch yang artinya gereja kristus (google translate). Meskipun dalam aksi yang dia lakukan pada dua masjid dianggap menyerang Muslim, namun dalam manifesto yang dia buat sebelum aksi teror dilakukan dia menganggap aksi itu untuk menyerang kaum imigran.

Kasus ini mengingatkan kita pada buku yang ditulis oleh Amartya Sen, Kekerasan dan Identitas (2006). Buku tersebut berisi pengalaman pribadi penulisnya di India melihat kekerasan dan pembunuhan yang berdasar pada identitas tertentu.

Identitas pada dasarnya merupakan pengenal atau atribut seseorang. Tapi,  tidak ada manusia yang memiliki identitas tunggal. Muslim kah kita, tidak semata membuat identitas kita hanya satu, yaitu Muslim. Paham sempit terhadap identitas tunggal ini yang membuat manusia terkadang fanatik dan anti terhadap identitas lainnya atau yang kontra dengan identitasnya. Identitas tunggal juga membuat kita gampang terhasut ketika melihat seseorang dengan identitas yang sama sedang disakiti.

Paham identitas tunggal inilah yang barangkali membuat pelaku teror di Selandia Baru menrancang aksinya setelah dia mempelajari sejarah-sejarah kesamaan identitasnya dimasa lampau. Identitas tunggal yang terkristalisasi juga mungkin akan menjadi laten dan akan menjadi inspirasi lagi pada aksi-aksi teror terkutuk lainnya.

Identitas Bhinneka Tunggal Ika
Berbeda-beda tetapi tetap satu. Frasa yang tertulis dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular pada abad ke 14 ternyata sejalan dengan konsep yang ditulis oleh Amartya Sen. Beliau menolak Indentitas tunggal. Identitas manusia sangat beragam, jadi kenapa harus mengungkung diri dan beraktifitas hanya pada satu identitas?

Mari kita berkaca pada diri sendiri dan aktifitas keseharian kita. Begitu banyak identitas yang melekat pada diri kita. Kita ada warga Indonesia, maka berkumpullah dengan identitas yang sama, warga Indonesia. Kita Muslim, maka bergabunglah kita dalam kehidupan orang Muslim. Kita adalah Aparatur Sipil Negara (PNS), maka berkumpullah kita dengan para ASN. Suku kita Bugis, maka ngopilah kita dengan orang-orang bugis. 

Pendidikan kita adalah Sarjana Kesehatan Masyarakat, maka beraktifitaslah kita dengan para SKM. Hobi kita dengan olah raga futsal, maka setidaknya dua kali seminggu kita futsal dengan kengkawan. Tim kesebelasan favorit kita adalah Arsenal, maka berkumpullah kita nonton bareng dengan Fans Arsenal. Serta begitu banyak identitas lainnya yang kita miliki dan mengajak kita untuk berkumpul dengan identitas tertentu yang sama dengan kita lalu kemudian mengabaikan identitas lainnya yang pastilah ada pada kengkawan kita.

Bayangkan dengan penganut identitas tunggal, maka mereka hanya akan berkumpul dengan orang Indonesia yang ASN suku Bugis berpendidikan SKM, hobby futsal yang Fans Arsenal. Maka begitu sempit hidup ini.

Identitas jangan dijadikan sebagai pembeda kita dengan lainnya. Pembeda warga negara Indonesia dan bukan, Muslim dan bukan, SKM dan lainnya, Pemain Futsal dan lainnya atau Fans Arsenal dan lainnya.

Identitas hendaknya kita jadikan pemersatu. Kita bersama warga negara lainnya saat kita hidup di dunia. Kita bisa bergabung dengan alumni pendidikan lainnya ketika kita bekerja. Diterima main futsal dan nonton bareng Liga Inggris oleh suku Melayu sebagai warga mayoritas.

Bagaimana mencegah Identitas Tunggal
Jika kita sepakat dengan ide tersebut, maka marilah mulai saat ini kita mencoba untuk bergaul dan memahami identitas yang lain dengan diri kita sendiri. Bukannya kita diciptakan oleh Allah SWT untuk saling kenal mengenal, saling berinteraksi, bukan saling membenci.
Kita perlu membuat jadwal ngopi dengan beragam kelompok. Bukan hanya seprofesi, sesuku, sehobi dan seterusnya. Membuka diri terhadap perbedaan akan membuat kita mendapatkan sejuta wawasan.

Pemerintah sebagai wasit dan penguasa juga perlu turut serta dalam konsep tersebut. Jangan terlalu memberikan fasilitas pada identitas tertentu sedangkan identitas lainnya diabaikan. Pemerintah perlu mengembangkan identitas yang beragam. Apakah itu berdasarkan kesamaan profesi, agama, tujuan bahkan hobi.

Dengan kesediaan kita dan seluruh manusia untuk membuka diri terhadap perbedaan, maka akan tercipta kehidupan yang harmoni. Ibarat permainan musik yang terdiri dari beragam nada dan kunci, terangkum jadi alunan indah dan menggairahkan. Kehidupan kita jalani tanpa membeda-bedakan. Tentunya pada koridor yang sesuai pada keyakinan dan kepercayaan kita masing-masing.


Penulis: Abdul Rauf Rahim, S.KM., M.Si*
* Pemuda Muhammadiyah Wilayah Kepulauan Riau
* PERSAKMI Daerah Kepulauan Riau
* Pemuda Sulawesi Selatan
* ASN di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
* Member Mesin Otot Bintan Centra
* Fans Arsenal dan hobi Futsal
* Sering ngopi di Warkop Barokah Bintan Centra
* serta anggota lebih dari 30 WA Grup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun