Mohon tunggu...
Laurensius Mahardika
Laurensius Mahardika Mohon Tunggu... Guru - Teacher and learner at the same time

Music and writing to keep me as a "human"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bagaimana Harimu?

11 Oktober 2022   19:55 Diperbarui: 12 Oktober 2022   07:12 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration: theasianparent.com

"Sial!", gerutuku.

Aku pikir, ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah aku hidup di dunia ini. Bagaimana tidak, di hari pertama aku kerja, ban sepeda motorku malah bocor di tengah jalan. Terpaksa, aku pun harus mendorong cukup lama sampai bertemu tambal ban. Itupun aku harus menunggu sekitar 15 menit. Sudah pasti telat di kerjaan yang bahkan belum aku mulai. Duh.

Pada saat datang, aku sudah tahu apa konsekuensi yang akan aku terima nantinya. Dan benar saja, Bos sudah menunjukkan raut muka yang sedang naik pitam. 

"Kamu ini, anak baru lho. Hari pertama saja sudah telat!", semprot sang Bos kepadaku.

Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan tubuh yang lesu, mental yang semakin ciut setelah disidang habis-habisan oleh Bos, aku harus menyelesaikan hari panjangku. Belum lagi ditambah laporan yang perlu aku selesaikan hari ini.

Sebagai fresh graduate, aku sudah memberikan kesan yang buruk terhadap pekerjaanku. Sebutkan saja semua keburukan seorang pemula yang ada: telat, kerja tidak maksimal, banyak blunder, hariku terlalu komplit. Semangatku di awal layaknya mie instan yang sempurna dibuat seperti gambar yang tertera di bungkusnya, lalu tiba-tiba jatuh dan pecah. Buyar seketika!

Aku tahu, ini memang masih hari pertama ku. Masih ada hari-hari lain yang bisa aku lalui untuk memperbaiki diri. Tapi seperti kata orang: first impression, last. Aku takut impresi pertamaku di pekerjaan ini menjadi terakhir kalinya aku bekerja disini. Aku tidak bisa melepaskan pikiranku ini. Mau murka entah dengan siapa. Mau menangis pun, hari sudah hampir habis.

"Sial!", gerutu seseorang yang mendekat ke arahku.

Joseph, rekan kerja yang sama-sama di timku, juga mengeluhkan hal yang sama. Dia baru saja keluar dari ruangan Bos dengan tangan kiri mengepal, sembari tangan satunya melempar laporan tebal ke arahku.

"Bos bilang laporannya belum lengkap. Gue udah capek-capek kerjain dari dua minggu lalu, lho. Masih aja hari ini disemprot sama dia. Gila!", cetusnya dengan marah.

"Eh, by the way, gimana hari lu?"

Masih saja temanku ini menanyakan hariku yang sudah jelas-jelas serupa dengan dia. Bahkan lebih buruk. 

"Lebih parah dari lu, bro. Ban bocor, dimarahi Bos, laporan belum selesai.", kataku dengan malas.

"Ada tambahan?", kataku lagi, kali ini dengan nada sedikit sarkas.

Joseph hanya tersenyum melihatku, menepuk pundakku, lalu pergi dengan santainya sambil bersiul.

---


Ingin sebenarnya menutup mataku ini, namun pikiranku belum mengizinkanku untuk menutup hari. Akhirnya setelah usai, aku memutuskan untuk pergi ke kafe dekat kantorku. Berharap dapat bernegosiasi dengan pikiranku ini, berhenti sejenak untuk menutup hari. 

Belum sampai lima menit duduk setelah memesan kopi, tiba-tiba suara wanita dari kejauhan mulai menghampiriku. Suaranya bersemangat, terkesan ambisius, seakan telah mencapai sesuatu yang sudah menjadi harapan sebelumnya.

"Hei, kamu anak baru di kantor kan? Kenalin, aku Sinta.", sapanya dengan cukup keras dan intonasi yang jelas.

"Oh, Sinta. Iya, kamu juga anak baru kan di kantor. Bagaimana harimu?", kataku dengan berpura-pura semangat seperti dia.

"Wah, luar biasa! Bos bilang aku cekatan kerjanya. Laporanku juga sudah selesai semua. Overall, bagus banget deh untuk hari ini! Gimana harimu?"

Merasa memiliki teman (walaupun di hati terasa iri sekali), aku menceritakan hariku yang carut-marut ini dengan berharap ada rasa iba di hatinya. Di akhir, sinta hanya tersenyum, menepuk pundakku, lalu pergi kembali ke teman-temannya.

Ah, andai hariku seperti dia, gumamku. Mataku malah semakin lelah karena ini. Mungkin ini pertanda bahwa aku harus segera menyelesaikan hari ini.

---


Aku sadar perutku belum terisi. Terlihat ada tukang bakso, akupun berhenti. Persis di belakang, terdapat taman bermain untuk anak-anak. Tamannya cukup sepi hari ini karena sudah menjelang malam. Lampu remang-remang pun mulai dinyalakan.

Setelah perut terisi, aku mencoba untuk menyusuri taman ini. Berharap menemukan sesuatu yang bisa mengobati rasa lelah ini. Disitu, ada satu anak yang masih bermain ayunan. Dia terlihat senang, bahkan tertawa lepas ketika ayunan berada di puncaknya.

Aku perhatikan anak tersebut. Masih saja bermain. Terasa dunia ini milik dia seutuhnya, walaupun dengan permainan seadanya.

Hatiku mulai tergerak, menghampiri anak tersebut. Setelah tahu dihampiri seseorang, anak itu berhenti sambil mempertahankan senyumnya. Lalu dengan iseng, aku bertanya:

"Bagaimana harimu, dek?"

Dia hanya tersenyum menatapku, lalu tertawa. Setelah itu, dia kembali bermain ayunan dengan ceria.

Pada saat itulah aku terdiam. Merenung. Lalu, aku tersenyum dan bermain dengannya.


10 Oktober 2022

Happy World Mental Health Day


-LM-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun