Mohon tunggu...
Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konflik Status Kepemilikan Tanah atau Lahan Adat dengan Perkebunan Kelapa Sawit

4 April 2017   21:03 Diperbarui: 4 April 2017   21:17 7987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1995, pemerintah daerah memberikan PT Rana Watsu Kencana (PT RWK) hak atas tanah lebih dari tiga ribu hektar untuk pengembangan perkebunan. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa orang-orang dari desa Maribas telah memberikan persetujuan mereka. Sebenarnya, hanya mantan kepala desa yang mengetahui hal ini, dan orang-orang tidak pernah dikonsultasikan atau meminta persetujuan mereka. Pada tahun 1996, PT RWK diberi izin untuk memperpanjang perkebunan untuk 9.500 hektar. 

Penduduk Nyayat melihat pembebasan lahan mempengaruhi masyarakat sekitar mereka. Mereka tidak mengambil tindakan akan hal tersebut pada saat itu tetapi mereka jelas menandai batas tanah mereka. Pada bulan September 1998, PT RWK tidak memperhatikan penanda batas: mereka menghancurkan 1.400 hektar pohon buah-buahan dan tanaman lainnya, dan mereka membuldoser tanah pemakaman tiga puluh satu kuburan.

Masalah Yang Muncul.                                                           

Perbukaan atau perluasan perkebunan kelapa sawit semakin tidak mampu untuk dihentikan. Hal tersebut disebabkan pasar komoditas kelapa sawit semakin tinggi. Dampak yang muncul dari meningkatnya jumlah permintaan komoditas kelapa sawit dipasar bisnis, memunculkan ekspansi lahan yang semakin luas. Ekspansi lahan yang semakin luas berdampak pada pengarapan lahan adat atau pengarapan tanah adat. Pengarapan tanah adat seperti yang banyak terjadi dikalimantan barat banyak memunculkan persoalan ataupun masalah. Permasalahan yang munculpun beragam, baik itu perubahan social masyarakat adat, atau masyarakat desa, serta konflik agraria.

Konflik yang paling sering terjadi adalah konflik kepemilikan lahan, banyak masyarakat yang dirugikan akibat dari perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Dikalimantan barat banyak tanah atau lahan adat yang menjadi korban, masyarakat banyak ditipu dengan janji-janji oleh perusahaan kelapa sawit. Sehingga masyarakat banyak kehilangan lahan pribadi maupun lahan adat yang mestinya dikelola dan difungsikan dan status tanahnya dimiliki oleh masyarakat adat.

Dalam mengatasi masalah seperti ini perlu dibangunnya komunikasi yang melibatkan semua pihak, partisipasi dari masyarakat menjadi sangat penting. Dengan partisipasi masyarakat yang sangat tinggi dan terbagun suatu dialog antara masyarakat dan perusahaan akan mengurangi terjadinya konflik. Dialog yang dilakukan dengan tujuan adanya kesepahaman dan kesamaan persepsi dari kedua pihak yang bersengketa. Konflik kepemilikan lahan atau tanah, biasanya terjadi disebabkan karena tidak adanya persamaan persepsi. Persamaan persepsi menjadi sangat penting untuk mendukung terjadinya kerjasama dan kemitraan yang jelas anatara masyarakat dan perusahaan.

Dikalimantan barat pola kemitraan atau kerjasama antara masyarakat dan perusahaan sangat bermacam-macam, yang memunculkan ketidakjelasan atas status kepemilikan dan pengelolaan tanah ataupun lahan. Sebagai contoh kemitraan atau kerjasama yang terjadi dikalimantan barat adalah koperasi kredit primer anggota (KKPA), pola kemitraan bagi hasil, dan pola kemitraan keakuan. Dengan terlalu banyak kemitraan memunculkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat atau masyarakat local. 

Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara masyarakat dengan perusahaan, sehingga saling klaim semakin terus terjadi dimasyarakat. Penyebab lain dari ketidakjelasan tersebut ialah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat setempat. Minimnya sosialisasi akan mempengaruhi pemahaman masyarakat, baik itu bagaimana dengan pola dan system kerja perusahaan, baik itus atas pembahasan hak-hak masyarakat maupun hak-hak peusahaan.

Seperti kasus yang sering terjadi dikalimantan barat konflik sering terjadi disebabkan oleh status kepemilikan lahan ataupun tanah. Masyarakat kurang mendapatkan sosialisasi dan pemahaman tentang bagaimana system yang diterapkan oleh perusahaan. Biasanya perusahaan langsung mengarap tanah warga atau lahan adat, dengan alasan telah memiliki izin dari pihak pemerintah. Tampa adanya sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat local atau masyarakat adat. 

Dalam hal ini komunikasi lingkungan menjadi penting untuk diterapkan baik itu untuk menjaga dan membentuk persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap perkebunan sawit akan baik, ketika dampak yang muncul menguntungkan masyarakat, baik itu status kepemilikan lahan, pengembangan masyarakat setempat maupun kesejahtraan masyarakat adat atau masyarakat local.   

Konsep Tanah Adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun