Mohon tunggu...
Laurensia Aptik
Laurensia Aptik Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Belajar bersama membangun keluarga yang sehat jiwa raga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree dan having child: Manakah yang lebih bahagia?

11 Juni 2023   00:00 Diperbarui: 11 Juni 2023   05:47 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena childfree sedang ramai dibicarakan beberapa waktu terakhir, istilah ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1970-an (lihat Baber & Deyer, 1986). Childfree merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pasangan menikah yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Penelitian yang dilakukan oleh Baber dan Deyer (1986) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki pandangan childfree cenderung memiliki pandangan non-tradisional mengenai peran gender. Peran tradisional yang dimaksud berarti bahwa perempuan memiliki tugas di rumah dan berorientasi pada anak, atau peran wanita sebagai ibu. 

Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa sebesar 44% individu berusia 18-49 tahun (data dari 9.676 sampel yang dipilih secara acak di Amerika) menyatakan tidak terlalu dan sama sekali tidak ingin memiliki anak (Brown, 2021). Di antara responden yang menyatakan tidak ingin memiliki anak, pertimbangan yang mendasari keputusan childfree di antaranya adalah (1) tidak berkeinginan untuk memiliki anak (56%), (2) faktor medis (19%), (3) finansial (17%), (4) tidak ada pasangan (15%), dan (5) usia (10%). Responden yang sudah memiliki anak dan menyatakan tidak ingin menambah anak juga memiliki pertimbangan yang hampir sama dengan orang yang childfree: (1) tidak berkeinginan untuk menambah anak, (2) usia, (3) faktor medis, (4) finansial, dan (5) sudah memiliki anak (Brown, 2021). Alasan-alasan yang disampaikan oleh para responden penelitian ini menunjukkan bahwa keputusan untuk childfree maupun tidak menambah anak sebagian besar berdasarkan preferensi dari responden untuk tidak memiliki anak atau tidak ingin menambah anak.

Setiap pasangan, baik yang childfree maupun yang memiliki anak, mempunyai pertimbangan masing-masing dalam membuat keputusan tentang kehadiran anak yang secara umum berdasarkan preferensi yang bersangkutan. Apabila dilihat dari segi kebahagiaan, apakah individu yang childfree lebih bahagia dari para orang tua (pasangan yang memiliki anak)?

Survey of Health, Ageing and Retirement (SHARE) di Eropa merupakan survei yang dilakukan di berbagai negara (21 negara) dan melibatkan 183.545 orang berusia di atas 50 tahun menilai kebahagiaan (subjective wellbeing). Pasangan yang memiliki anak dan secara rutin berkomunikasi dengan anak cenderung lebih bahagia dibanding pasangan/individu yang childfree. Pasangan yang jarang berkomunikasi dengan anak juga menunjukkan kebahagiaan yang lebih rendah dibanding pasangan yang rutin berkomunikasi dengan anak (Albertini & Arpino, 2018). Survei serupa yang dilakukan untuk mengetahui kebahagiaan secara global berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, melibatkan 201.988 responden menunjukkan hasil yang berkebalikan, orang yang childfree cenderung lebih bahagia dibanding orang yang memiliki 1 sampai 3 anak. Namun, tingkat kebagiaan tersebut sangat bergantung pada usia. Pada kelompok orang yang berusia kurang dari 30 tahun, tingkat kebahagiaan berkurang berdasarkan jumlah anak. Kelompok usia 30-39 tahun tidak menunjukkan kebahagiaan yang lebih rendah berdasarkan jumlah anak. Sedangkan pada kelompok usia 40 ke atas, tingkat kebahagiaan menjadi lebih tinggi, terutama yang memiliki 3 anak menunjukkan kebahagiaan tertinggi (MaRgolis & MyRskylä, 2012).

Berdasarkan kedua survei tersebut, pertanyaan tentang kelompok mana yang lebih bahagia belum dapat terjawab secara jelas. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang dan umumnya bersifat subjektif, bergantung pada preferensi masing-masing. Kebahagiaan seringkali juga disebut sebagai subjective well-being, yang merujuk pada pengalaman individual dan evaluasi terhadap hidup berdasarkaan aspek dan kegiatan tertentu yang dilakukan sepanjang hidup (Panel on Measuring Subjective Well-Being in a Policy-Relevant Framework, 2013). Pengertian ini menandakan bahwa setiap orang bisa jadi memiliki tolok ukur kebahagiaan yang berbeda-beda, meski bisa dilakukan pengukuran secara umum berdasarkan kriteria tertentu. Oleh karena itu, perbandingan kebahagiaan antara kedua kelompok ini bisa sangat subjektif dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hasil penelitian MaRgolis dan MyRskylä (2012), juga diperlukan pengukuran berkala untuk mengetahui perubahan tren antar generasi.

Referensi:

Albertini, M. & Arpino, B. (2018). Childlessness, parenthood and subjective wellbeing: The relevance of conceptualizing parenthood and childlessness as a continuum. Diakses dari 

Baber, K. M. & Dreyer, A. S. (1986). Gender-role orientations in older child-free and expectant couples. Sex Roles, 14(9/10): 501-512.

Brown, A. (2021). Growing share of childless adults in U.S. don’t expect to ever have children. Diakses dari https://www.pewresearch.org/short-reads/2021/11/19/growing-share-of-childless-adults-in-u-s-dont-expect-to-ever-have-children/ 

MaRgolis, R. & MyRskylä, M. (2012). A global perspective on happiness and fertility. Population and Development Review, 37(1): 29-56. doi: 10.1111/j.1728-4457.2011.00389.x

Panel on Measuring Subjective Well-Being in a Policy-Relevant Framework; Committee on National Statistics; Division on Behavioral and Social Sciences and Education; National Research Council; Stone AA, Mackie C, editors. (2013). Subjective well-being: Measuring happiness, suffering, and other dimensions of experience [Internet]. Washington (DC): National Academies Press. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK174473/ doi: 10.17226/18548

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun