* OrientasiÂ
Duka mendalam di kaki langit, duka sekali lagi membungkus mata hati.
Banyak sekali hal yang dicatat Pancaksara. Kesedihan yang terjadi pada peristiwa sembilan belas tahun yang lalu, yang ditulis berdasarkan kisah yang di ceritakan ayahnya. Peristiwa itu terjadi Pancaksara masih belum bisa dibilang dewasa.
Tahun 1309, rakyat berkumpul di alun-alun. Semua berdoa, apapun warna agamanya. Semua arah perhatian ditujukan dalam satu pandang, ke Purawaktra yang tidak dijaga ketat. Para prajurit bersikap sangat ramah kepada siapapun karena memang demikianlah sikap keseharian mereka. Para prajurit merasakan gejolak yang sama, duka mendalam atas gering yang di derita Kertarajasa Jayawardhana.
* Pengungkapan peristiwa
Ketika bende Kiai Samudra dipukul bertalu, tangis serentak membuncah. Ayunan pada bende yang getar suaranya mampu menggapai sudut-sudut kota merupakan isyarat yang sangat dipahami.Â
Namun, berjarak sedikit lebih lana dari isyarat kebakaran merupakan pertanda Sang Prabu mangkat. Semua orang yang mendengar isyarat tersebut merasa denyut jantungnya berhenti berdetak.
Di bilik pribadinya, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang ketika masih muda dikenal dengan sebutan Raden Wijaya membeku. Empat dari lima istrinya meledakkan tangisannya.
* Menuju konflik
Yang mencuri perhatian bukan hanya soal desas-desus itu saja. Sepeninggalan Kalagemet Sri Jayanegara dengan segera muncul pertanyaan, siapa yang akan naik takhta untuk menggantikannya.
Dua pewaris yang masing-masing berwajah cantik itu memang bersih, tetapi apa yang kita lihat tidak sesederhana yang kita tampak. Pancaksara bahkan melihat persaingan yang sangat amat tajam akan terjadi, terutama riuh barisan orang-orang di belakang Kudamerta dan barusan orang-orang di belakang Cakradara. Bagaimana dengan yang bersangkutan? Karena istrinya ratu pewaris takhta tidak mengubahnya ikut numpang mewarisi takhta itu sendiri.Â