Mohon tunggu...
Laurencius Simanjuntak
Laurencius Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Warga Bekasi. Komuter yang terbiasa pulang pagi ;)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sabat untuk Para Budak (Refleksi Atas Film ’12 Years A Slave’)

10 Maret 2014   15:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="William Ford (Benedict cumberbatch) "][/caption] Matahari pagi di New Orleans belum terasa hangatnya ketika para jemaat menyanyikan kidung-kidung pujian kepada Tuhan. Hari itu adalah Sabat pada 1841. New Orleans dulu masih terhampar perkebunan luas, belum menjadi kota metropolitan terbesar di Negara Bagian Louisiana seperti sekarang.

Di sudut salah satu perkebunan itulah ibadah Sabat digelar. William Ford, pendeta sekaligus tuan tanah, yang memimpin jalannya kebaktian.

“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke laut,” khotbah Ford menukil Injil Matius.

Mendengar firman Tuhan itu, Eliza, salah satu jemaat perempuan, menangis makin keras. Eliza memang selalu menangis setelah makelar jual-beli budak memisahkannya dari kedua anaknya. Bahkan karena kesedihan yang mendalam, budak perempuan itu tidak bisa bekerja maksimal di perkebunan Ford.

Itulah salah satu adegan satire dalam film ‘12 Years A Slave’ (2013) - pemenang tiga kategori Piala Oscar 2014 - karya Steve McQueen, seniman galeri kulit hitam yang kemudian menjadi sutradara. Satire karena Ford (Benedict Cumberbatch) tetap memperbudak Eliza (Adepero Oduye), meski sang pendeta mengutip bagian Injil yang paling keras bagi siapa pun yang menyesatkan anak.

Tapi itulah Louisiana, negara bagian yang kemudian membentuk Negara Konfederasi Amerika bersama-sama 10 negara bagian lain karena menolak melepaskan perbudakan. Penarikan diri dari Amerika Serikat itu juga yang kemudian memicu pecahnya perang sipil di negeri Abang Sam pada 1861.

Meski kental dengan perbudakan, Louisiana pada hari Sabat adalah sama seperti negara bagian lain. Sebagaimana Tuhan berhenti (shabbat) bekerja setelah menciptakan semesta pada hari ke-7, para budak juga rehat dari pekerjaan yang penuh siksa. Hanya pada hari Sabat juga para budak kulit hitam bisa duduk sejajar dengan tuan tanah kulit putih dalam sebuah ibadah.

Dalam satu hari itu mereka bisa bersama-sama bernyanyi memuji Tuhan, meski enam hari yang lain sang tuan tega melihat para budak dibabat. Cambuk para pengawas perkebunan siap mendarat di tubuh budak manapun yang bekerja lambat.

Ford barangkali belum sekeji Edwin Epps (Michael Fassbender), tuan tanah lain yang mencambuk sendiri para budaknya. Tetapi Ford dan Epps sama saja dalam hal menghadirkan Tuhan dalam perbudakan di perkebunannya.

Dalam suatu adegan, Epps memanjatkan syukur kepada Tuhan dan bahkan memuji Patsey (Lupita Nyong'o, pemenang Oscar 2014 kategori Aktris Pendukung Terbaik) karena melihat hasil panen kapas budak perempuan kurus itu jauh melebihi rata-rata dari budak lain, termasuk yang laki-laki. Epps menganggap budak Patsey sebagai properti privatnya yang paling berharga.

Damned Queen (Patsey). Born and bred to the field. A nigger among niggers, and God give her to me. A lesson in the rewards of righteous living,” kata Epps di hadapan Patsey dan budak yang lain.

Protestanisme

Beberapa adegan satire dalam ‘12 Years A Slave’ (selanjutnya 12YAS) - yang diangkat dari memoir Solomon Northup (1853) berjudul sama - barangkali cerita lama tentang kemesraan protestanisme dan perbudakan dalam sejarah Amerika. Namun, visualisasi oleh McQueen telah memberi gambaran bagaimana ajaran cinta kasih Yesus bisa berlumur darah di tangan tuan tanah.

Ini bukan cerita agama (monoteisme) dan kekerasaan dalam kasus fundamentalisme, yang menurut Karen Amstrong (1993), seperti dua sisi mata uang. Tetapi lebih kepada kekerasan sebagai imbas kapitalisme yang ditopang – kalau bukan dibenarkan - agama.

Max Weber (1930) telah jelas menunjukkan bagaimana Etika Protestan telah menjadi sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal yang tak terencana dan tak terkoordinasi menuju ke pengembangan kapitalisme. Tesis Weber ini didasari oleh konsep panggilan (calling) dalam Etika Protestan, yang tidak ada dalam teologi Katolik.

Pada prinsipnya, menurut Weber, dalam ‘calling’ bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi individu adalah memenuhi tugasnya dalam urusan duniawi. Konsep ini kemudian semakin dipertegas oleh teologi takdir ala Calvinisme, bahwa "hanya orang-orang terpilih yang bisa diselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu telah ditetapkan jauh sebelumnya oleh Tuhan".

Doktrin takdir ini kemudian menciptakan kegamangan umat, yang pada akhirnya menciptakan spirit kapitalisme, bahwa keberhasilan memenuhi panggilan lewat ‘kerja yang baik’ bisa menjadi pertanda seseorang terpilih atau tidak. Pada titik inilah Calvinisme, menurut Weber, telah menyumbangkan energi terbesar bagi semangat kapitalisme modern di Eropa, yang akhirnya menjalar ke Amerika pada abad ke-17.

Lewat gagasan ‘properti privat’ dalam kapitalisme, perbudakan kemudian mendapat tempatnya di Amerika. Si tuan bisa menganggap budak adalah milik dia sepenuhnya dengan lebih dulu mencabut seluruh kemanusiaannya. Kemudian rasisme pada gilirannya memberi semacam ukuran untuk menakar kadar kekerasan yang pantas diterima budak berdasarkan warna kulit.

Lantas pertanyaannya, apakah protestanisme melegitimasi kekerasan para budak budak? Sulit untuk mengambil kesimpulan tersebut. Sebab, meski Allah dalam Perjanjian Lama diagungkan karena Daud sukses membunuh berlaksa-laksa orang Filistin, pada sisi lain, ajaran 'jika ditampar kiki kiri, berikan pipi kanan' oleh Yesus dalam Perjanjian Baru, telah mempertegas bahwa kristianitas tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap kekerasan.

Cinta kasih - yang tanpa syarat – tetap menjadi inti ajaran Yesus. Lalu persoalannya, bagaimana menjelaskan dorongan nafsu eksploitasi yang dipicu oleh doktrin protestanisme di satu sisi, dengan keharusan menerapkan cinta kasih pada sisi yang lain? Film ‘12 YAS’ telah sukses menggambarkan paradoks tersebut.

Demi mengupayakan cinta kasih, Ford yang seorang pendeta akhirnya menyelamatkan Salomon Northtup (Chiwetel Ejiofor) dari upaya pembunuhan oleh John Tibeats (Paul Dano), seorang tukang kayu kulit putih. Namun, bentuk penyelamatan Ford bukan dengan membebaskan Platt – identitas baru Northup  di perbudakan – melainkan hanya meminjamkan sementara si budak kepada Epps, tuan tanah lainnya.

Meski dianggap sebagai orang dengan kualitas moral paling baik (baca: pendeta), Ford tetap tidak  mungkin melepaskan para budaknya begitu saja, karena mereka telah tunai ‘dibeli’. Sementara, bentuk cinta kasih lain tetap diupayakan Ford dengan membiarkan para budak beribadah kepada Tuhannya, meski hal ini tetap problematis jika niat si tuan kulit putih hanya ingin menjadikan ibadah Sabat sebagai candu -  yang seperti kata Marx - untuk meninabobokan para budak dari kesengsaraannya.

Berbeda dengan Ford, Epps yang bukan pendeta, menerapkan kekerasan dengan kadar yang lebih sadis. Digambarkan, Epps yang mempunyai kebiasan mabuk-mabukan, tega mencambuk sendiri para budaknya, tak terkecuali Patsy. Padahal, Epps pernah memperkosa Patsy, budak perempuan yang sebelumnya dianggap sebagai properti privatnya paling berharga.

Pada titik ini, ukuran kekerasan yang dilakukan tuan tanah tampak tergantung pada kadar ketaatan mereka pada ajaran protestanisme. Kontras dengan Ford yang tidak mencambuk, Epps bahkan menganggap perbudakan dengan kekerasan bukanlah dosa.

"Sin? There is no sin. Man does how he pleases with his property," kata Epps marah, saat melihat Platt dijemput (baca: dibebaskan) oleh seorang polisi, berkat surat Bass (Brad Pitt), tukang kayu asal Kanada.

Jika pandangan 'tidak ada dosa' dianggap sebuah penyimpangan, maka Epps jelas bukanlah protestan yang taat. Sebab, teologi protestanisme atau bahkan seluruh teologi Kristen, mempunyai konsepsi yang tegas tentang dosa. Sebut saja konsep 'kerusakan total' (total depravity) dalam teologi Calvinisme yang menyoal tentang awal kejatuhan manusia ke dalam dosa. Bahkan perbedaan tegas ajaran Katolik dan Protestan adalah soal indulgensi (pengurangan hukuman akibat dosa).

Pada kasus perbudakan di Amerika, yang digambarkan dalam ‘12YAS’, protestanisme jelas bukan saja tidak berdaya. Akan tetapi, protestanisme – setidaknya pada kisah nyata Salomon Notrhup – justru telah menjadi ‘bensin’ bagi nafsu penghisapan sesama manusia (baca: kapitalisme) dan akhirnya pada tangan tuan tanah yang kurang/tidak taat, para budak setiap hari dibabat, kecuali pada hari Sabat.

Ren

Sabat, 09032014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun