Mohon tunggu...
Laurencius Simanjuntak
Laurencius Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Warga Bekasi. Komuter yang terbiasa pulang pagi ;)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Effect Tak Bekerja? Ah Masa...

11 April 2014   15:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48 2206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_302794" align="alignnone" width="300" caption="Foto: sindonews.com"][/caption]

Dulu setelah hasil hitung cepat Pilgub Jabar 2013 memenangkan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar, yang diusung PKS, seorang kawan langsung berkomentar “kasus korupsi sapi tak berpengaruh”. Kini setelah hitung cepat Pemilu 2014 menunjukkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak mencapai target 27 persen - meski tetap menang – banyak yang berlomba-lomba berkomentar cepat bahwa “tidak ada Jokowi Effect”.

Komentar cepat tentang penyebab kekalahan dan kemenangan dalam sebuah kontestasi - termasuk politik - memang jamak terjadi. Tapi apa komentar itu bisa dipertanggungjawabkan?

Hemat saya, jika dasar argumen kita adalah hasil hitung cepat (quick count) yang merupakan data kuantitatif (angka-angka), maka analisis terhadapnya harus menggunakan metode sejenis. Artinya, kegagalan  PDIP menembus target suara 27 persen perlu dibuktikan penyebabnya dengan riset kuantitatif. Lewat Exit Poll misalnya.

Sejauh ini, kesimpulan-kesimpulan ‘tak ada Jokowi Effect’ – bahkan dari analis politik hebat sekalipun, seperti Denny JA – tidak ada yang membeberkan data pendukung. Padahal jika serius melakukan Exit Poll, bekerja atau tidaknya Jokowi Effect gampang dibuktikan.

Setahu saya, untuk riset kuantitatif, banyak uji statistik yang tersedia untuk membuktikan hubungan ‘sebab-akibat’. Misalnya 'uji korelasi' untuk dua variabel atau 'analisis regresi’ untuk dua variabel atau lebih.

Kalau niat, sebenarnya tinggal dihitung aja apakah variabel Jokowi Effect – yang entah mau didefinisikan sebagai apa – signifikan atau tidak terhadap perolehan suara PDIP. Kalau signifikan berarti Jokowi Effect bekerja dan jika tidak signifikan, hipotesa bahwa Jokowi Effect tidak bekerja berarti benar.

Lagian, Jokowi Effect, jika itu dianggap ada, apakah menjadi faktor tunggal bagi perolehan suara PDIP? Jika Jokowi Effect dianggap sebab (x) bagi akibat ( y ) perolehan suara PDIP, apakah tidak ada x1, x2, x3 dan seterusnya? Kemana faktor 'mesin partai', 'marketing politik' dan 'kampanye hitam' bagi perolehan suara?

Atau jika tetap ngotot Jokowi Effect sebagai faktor tunggal, bagaimana membuktikan hal itu tidak bekerja? Mungkin saja justru karena Jokowi Effect bekerja, maka perolehan suara PDIP naik menjadi 19 persen lebih, dari yang seharusnya jeblok. Dus, dijadikan faktor tunggal pun Jokowi Effect masih menjadi persoalan dalam hal membuktikan signifikansinya.

Hal ini sama dengan tiba-tiba menjadikan 'Rhoma Effect' sebagai penyebab kenaikan signifikan suara PKB dari 4 menjadi 9 persen. Kenapa bukan 'Ahmad Dhani Effect' (juru kampanye PKB) yang kita tahu fansnya banyak di kalangan pemilih mula? Sadar apa tidak, membicarakan faktor tunggal pengaruh Rhoma Irama yang baru beberapa bulan berkampanye untuk PKB, sama saja menihilkan kinerja mesin partai di bawah Muhaimin Iskandar.

Pada akhirnya, tanpa pembuktian ilmiah, ‘tidak ada Jokowi Effect’ atau 'Rhoma Effect bekerja di PKB' hanyalah sekadar hipotesa. Hipotesa yang bagus memang berangkat dari pertanyaan yang didasari permasalahan/fenomena yang kuat. Untuk kasus ini, fenomenanya adalah ‘sedang ada demam Jokowi di Pemilu 2014, sedangkan pertanyaannya adalah ‘kenapa PDIP yang sudah mencapreskan Jokowi suaranya tak memenuhi target?’ Maka muncul hipotesa ‘Jokowi Effect tidak bekerja’, yang kemudian perlu dibuktikan secara ilmiah.

Kenapa perlu pembuktian (kuantiatif) seperti ini? Ya, karena sejak awal kita sudah menggunakan data angka-angka sebagai dasar agumen kita. Kalau lantas data-data itu disimpulkan cepat dengan kategori kualitatif semacam ‘tidak ada Jokowi Effect’ tanpa pembuktian kuantitatif, kan jadi tidak konsisten toh.

Saya tidak mau merendahkan para sarjana dan pengamat yang dengan cepat menyampaikan kesimpulan - bukan hipotesa - setelah melihat angka-angka hasil quick count. Saya cuma sadar dan maklum, ini memang musim pemilu ;) (Follow: @LaurenJuntax)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun