Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dua

26 Juni 2010   18:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Probabilitas bertemu dengan perempuan keren bermain time crisis itu cukup kecil kan? Mungkin sepuluh persen. Buana masih terpana ketika sang malaikat memalingkan muka lalu pergi. Setengah memaki diri sendiri karena membiarkan kejadian langka berprobabilitas sepuluh persen itu berlalu tanpa tindak lanjut nyata, Buana memasukan koin ke dalam mesin. Ya sudahlah. Sama-sama suka main time crisis tidak menjamin adanya rasa cocok dan saling pengertian. Tapi dia malaikat. Eh bukan. Bidadari sepertinya lebih pas. Bidadari tak berselendang begitu anggun berjalan meninggalkan mesin permainan. Kejadian berprobabilitas sepuluh persen. Buana memaki dirinya kembali sepanjang permainan dan emosi tidak beralasan tersalurkan dengan menekan pistol plastik terlalu kencang. Jarinya sedikit sakit ketika masuk ke pintu teater tiga. Film beradegan panas yang ditonton tiba-tiba kehilangan efek ekstasi. Selama sembilan puluh dua menit di ruang gelap dingin itu, bidadari tak berselendang terbang memenuhi kepala Buana.Lalu Buana jadi jaka Tarub? Buana meringis. You wish. Selembar sepuluh ribuan itu terasa hambar. Permainan kesukaannya tak lagi menyenangkan. Pawestri dilucuti dengan tatapan lawan jenis di sebelahnya. Belum juga bertemu dengan pemimpin penjahat pada level pertama, Pawestri sudah kehilangan tiga nyawanya. Pengeras suara mengumumkan film akan diputar dan pemegang karcis dipersilakan masuk. Ia menurut. Hatinya masih dongkol. Lebih baik sepuluh ribu dibarter dengan segelas soda. Di dalam bioskop, Pawestri tak bisa diam. Badannya gemetar. Ia tak sabar menunggu kemunculan dirinya walaupun hanya satu adegan. Setengah bahkan. Hanya lima detik. Itu juga dia hanya menatap zebra cross. Tapi setidaknya, muka Pawestri terlihat jelas di samping tokoh protagonist. Lima detik yang menyenangkan itu akhirnya datang juga. Bibir Pawestri tertarik dua cm ke kiri ke kanan. Sumringah. Jumawa. Bahkan ia iseng mengglasialkan adegan itu ke dalam telepon selulernya. Ia pulang, tak sabar untuk segera pamer kepada ibunya. *** Ibunya tak menanggapi betapa antusiasnya Pawestri. Hanya melengos menuju dapur begitu saja sesaat Pawestri menunjukkan ponsel dengan layar berpendar – pendar. Ibunya malah menyuruh dengan nada agak keras agar Pawestri segera mencari pacar. Ibunya khawatir kalau Pawestri disorientasi seksual, karena selama ini tak ada lawan jenis yang menyambangi rumahnya di malam minggu. “Hah pacar?”, reaksi kimia di dalam jutaan sel otaknya bekerja agak terlambat untuk soal itu. Otaknya menampilkan sosok lawan jenis dengan pandangan melucuti, padahal visual dari retinanya gelap. Hitam kejingga – jinggaan. Kelopak matanya tertutup rapat. Sontak, Pawestri bangun. Dan berusaha mereduksi tampilan raga sosok lawan jenis tadi dengan berbagai cara. Tak berhasil. Coba tolong jelaskan bagaimana mungkin interaksi tanpa cakap basa basi selama tidak lebih dari lima menit bisa membekas sampai berjam-jam di dalam kepala. Buana bangun kesiangan hari Selasa. Kuliah jam sembilan pagi, sekarang jam delapan lewat lima belas. Buana masih bengong. Bidadari tak berselendang datang tadi malam lewat mimpi. Dia bilang Buana pemalas tidak akan jadi orang sukses. Dia bilang Buana pemimpi cuma bisa berani berimaji tak berani unjuk gigi. Buana mulai merunut dua tiga tahun ke depan lalu menarik garis ke dua tiga tahun ke belakang. Bidadari bertanya "Buana, kamu mau jadi apa?". Buana bengong. Kenapa semua orang peduli dengan masa depannya. Ibu, Bapak, Om, Tante, Ibu Dosen, Bapak Dekan, Dosen Wali, dan sekarang Bidadari tak berselendang juga tidak mau kalah. Buana malas menjawab. Memilih tidur lagi. Kuliah pagi tidak akan terkejar. Lebih baik langsung bablas ke jam tiga. Mata kuliah kewarganegaraan. Bimbingan belajar menghadapi ujian seleksi perguruan tinggi negeri menjadi agenda Pawestri  hari Selasa. Ia berdiri di samping jalan. Tangan kirinya ia gerakan ke atas ke bawah. Angkutan umum menepi. Ucapan ibunya masih memantul – mantul di dalam gendang telinga yang dikonversi  otak. Dari audio menjadi visual. Ia masih saja tidak percaya bagaimana pria tidak menarik dari segi fisik dan memegang pistol dengan mulut menganga bisa begitu menarik. Dan ia tetap saja mencegah visual lawan jenis yang kemarin ia temui di depan mesin permainan kesukaannya. Semakin ditolak, semakin merasuk. Racun. Ini sinting. Kuliah kewarganegaraan berjalan begitu cepat. Keluar dari kelas pukul lima sore, Buana tanpa pikir panjang bergegas ke bioskop, berdoa semoga bisa bertemu Bidadari lagi. Buana membeli popcorn dan duduk di pojokan. Satu jam, dua jam, tiga jam, pukul delapan Buana pulang dengan tangan hampa. "Buana, kamu mau jadi apa?" Bidadari genit menyapa di kepala Buana. Buana berpikir lalu menjawab dalam hati. "Aku mau jadi pistol palstik di mesin mainan Timr Crisis II, supaya bisa kamu pegang terus menerus sepanjang permainan". Lalu Buana tertawa sendiri. Jawaban macam apa itu. Buana mulai berpikir dia gila. Naksir prempuan kece tak dikenal yang hanya dilihat dari jarak satu meter dalam waktu kurang dari lima menit. Sinting. ———————————– * Ini satu. **Dilanjutkan setelah ada perbaikan nyata kualitas tabung elpiji. Hahaha. [jogJAKARTA. 27 Juni 2010. 1:22 AM.JS]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun