Saya tahu saat ini akan datang. Cepat atau lambat. Ngopi terkahir bersamanya.
Saya pandangi lagi raut wajahnya. Semua detil di tubuhnya. Baju, sepatu, jam tangan, alis, rambut. DIa sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sambil memainkan telfon genggam di tangannya. Wanita itukah yang sedang dia pikirkan?
Saya tahu akhirnya dia akan bilang bahwa tidak akan ada apa-apa di antara kami, bahwa kami hanya akan menjadi teman baik. Ya, saya sudah bisa merasakannya dari awal, tapi saya tidak kuat melarang hati saya untuk tidak jatuh cinta kepadanya. Dan tiga hari lalu dia benar-benar mengatakannya. Saya hanya diam ketika dia bilang dia tidak bisa menjadi seseorang buat diri saya. "We are just good friends".
Ya, saya tahu.
Sedih. Dan sedih yang paling sedih itu terwakilkan dengan baik di dalam diam.
Dia baru saja bilang bahwa dia akan dinas ke luar kota untuk enam bulan ke depan. Dan dia akan berangkat besok. Dan dia baru mengatakan ini pada saya hari ini. Entah di mana letak hubungan yang katanya "teman baik" itu.
Lalu dia bercerita tentang wanita itu. Wanita yang dikaguminya. Dia bilang wanita itu sedang ingin nonton. Ah, tahukan dia bahwa saya cemburu. Tahukah dia bahwa saya berbohong ketika saya bilang saya sudah tidak punya perasaan khusus kepadanya? Tidak, saya tahu dia pasti tidak tahu.
Tiba-tiba dia bangkit dan meninggalkan saya begitu saja. Dia sering menghilang tanpa pamit bila sedang ngopi bareng begini. Entah ke kamar mandi, entah merokok, entah pulang. Dulu, kalau sudah begini saya pasti akan segera mengirimkan pesan singkat, bertanya ada apa. Tapi kali ini saya hanya terdiam.
Saya begitu lelah. Lelah hanya menjadi "temn baik" ketika hati saya menginginkan lebih. Saya pikir saya telah jatuh cinta, tapi kini saya ragu. Kata orang cinta itu tidak kenal lelah. Kalau begitu ini mungkin bukan cinta. Saya selalu ada di situ untuk dia. Untuk semua cerita kecilnya, masalah hatinya, cita-citanya. Tapi saya ternyata mengharapkan balasan.
Saya masih bisa melihat kaos biru mudanya ketika saya menoleh ke arah dia berjalan. Dia tiba-tiba berbalik badan. Wajahnya sumringah. Senyumnya lebar. Pasti soal wanita itu. Dia kegirangan. Setengah berteriak, dia bilang bahwa malam ini dia akan nonton dengan wanita itu. Dia bergegas mengambil jaket dan helmnya, ingin cepat pulang dan mandi. TIba-tiba dia mencubit pipi saya.
"Wish me luck!"
Ah, tahukah dia bahwa saya selalu mendoakan dia setiap malam. Berdoa supaya dia mendapatkan kebaikan hidup, bertumbuh dan berkembang menjadi orang yang lebih baik. Tanpa dia minta saya pasti akan mendoakannya malam ini.
Dan sekali lagi dia pergi meninggalkan saya yang masih terduduk diam. Kali ini saya tahu dia ke mana. Saya amat lagi dia dengan seksama. Cara jalannya, siulannya, jaketnya, helmnya. Saya tahu saat ini akan tiba. Saat di mana perasaan ini akhirnya memang harus diredam.
Saya pejamkan mata dan merasakan ada rasa ngilu di dada saya. Inilah akhirnya. Suara motornya akhirnya hilang di kejauhan. Saya bangkit membereskan barang-barang saya dan membayar kopi. Ngopi terakhir itu terjadi sudah. Kali ini saya pulang jalan kaki. Langit mendung dan mungkin saya akan kehujanan. Mungkin saya butuh air hujan untuk melunturkan perasaan saya.
[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H