Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ayo Ke Desa Geger, Main Ke Rumah Pak Ratijo!

18 Mei 2010   09:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:08 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Desa Geger. Letaknyaitu kurang lebih tujuh sampai delapan kilometer dari Desa Sendang. Desa Sendang itu desa tempat kakek saya tinggal, di lereng gunung Wilis. Sekitar tiga puluh menit dari kota Tulung Agung kalau naik mobil.

Sore itu saya pergi ke Desa Geger mencari rumah Pak Ratijo, orang Katolik yang tinggal di sana. Rumahnya dijadikan tempat ibadah setiap hari Minggu. Namun karena letaknya memang sangat jauh dari kota, maka perayaan Ekaristi hanya diadakan setiap minggu ke empat. Ada sekitar lima puluh orang umat Katolik gunung Wilis ini. Tempat tinggal mereka menyebar. Tiap hari Minggu, mereka datang berkumpul di rumah Pak Ratijo. Sebagian besar dari mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter. Perjalanan jauh untuk beribadah kawan. Yang jauh itu pasti melelahkan. Oleh karena itu, setiap hari minggu, Pak Ratijo dan istrinya selain menyediakan rumahnya sebagai tempat ibadah, juga memasak untuk mereka. Seadanya saja, semampu mereka.

Misi saya sore itu adalah mengantarkan bahan makanan ke rumah Pak Ratijo.  Beras, telur, minyak, gula, kopi, susu, dan biskuit. Di sana cuma ada satu toko saja. Barang-barang macam ini sangat mewah di sana.

Perjalanan dimulai! Saya, oom War, dan dua sepupu saya yang masih kelas satu SD, Raka dan Bimo, pergi ke sana. Cuacanya hujan sedari pagi. Bahan makanan tidak mungkin dibawa dengan mobil pickup karena nanti basah. Jadi dipakailah mobil sedan. Setelah perjalanan berkelok kelok selama setengah jam, sampailah akhirnya di jalan utama depan jalan kecil menuju rumah Pak Ratijo. Mobil sempat mogok waktu memutar. Jadi perlu maju mundur dengan kekuatan otot di jalan yang menanjak.

mobil yang mogok didorong bersama-sama

Bayangkan itu mobil sedan di dorong-dorong oleh dua anak kecil, satu gadis kece dan satu oom oom. Udah hampir nyerah karena berat banget. Tiba-tiba datang mbak mbak berbadan besar lewat dan membantu. Wusss, tenaganya mantap. Macam malaikat dia datang menyelamatkan. Baik sekali :) Mobil akhirnya bisa berputar dan menyala lagi.

Jalan setapak menuju rumah Pak Ratijo

Dari jalan utama, masih harus berjalan lagi sekitar tiga menit menyusuri jalan setapak. Pemandangan kiri kanannya masih sangat hijau. Bau sapi bercampur bau tanah menambah khusuk perjalanan. Dan akhirnya sampai! Yey yey!!

Ini dia rumahnya! :)

Inilah rumah sederhana Pak Ratijo. Masih berdinding kayu. Lantainya masih semen, lampunya remang-remang.

Ruang tamu sekaligus ruang tidur sekaligus ruang ibadah. Sederhana tapi hangat.

Di belakangnya ada kandang sapi.

Kandang sapi di belakang rumah.

Ada semacam gubug juga, untuk memasak, menjemur baju, menyimpan hasil kebun.

Karena sedang hujan, pakaiannya dijemur di sini deh..

Pemandangan dari depan rumah adalah sawah dan lembah yang hijau. Tapi karena hujan waktu kami datang, hanya sebentar kami bisa menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu langsung putih tertutup kabut.

Sederhana. Suasana yang sangat nyaman. Meditatif. Dan mungkin itu juga yang dirasakan umat lain yang datang tiap minggu ke sini untuk bersama berdoa. Saya menyaksikan sendiri. Kenyamanan kadang adalah hal yang tidak berbanding lurus dengan nominal rupiah. Kemampuan hidup bahagia dalam kesederhanaan tiba-tiba menjadi semacam hal berharga di mata saya. Bapak Ibu Ratijo terlihat sangat bahagia. Kami disuguhkan teh, keripik pisang dan keripik singkong. Enak dan gurih. Raka dan Bimo sampai rebutan.

Lalu ini kamar anak anaknya, Ayu dan Titi. Mereka sedang belajar waktu saya datang. Saya ajak mereka kenalan, mereka lari, ngumpet di bawah meja belajarnya. Kata Pak Ratijo anak desa itu pemalu, tidak seperti anak kota. Tapi anak Pak Ratijo rajin belajar dan mau bekerja keras, tidak seperti anak kota.

Kamar sederhana tempat belajar Ayu dan Titik. Sayang mereka ga mau difoto.

Misi selesai. Bahan makanan berhasil dibawa ke lokasi dengan selamat. Teh yang disuguhkan sudah habis diminum. Keripik pisangnya tersisa setengah kaleng. Sudah sore. Saatnya berpamitan. Kabut turun waktu kami mau pulang.

Menembus kabut. Tinggal ditambahin monster, jadilah petualangan dunia fantasi. Hahaha.

Perjalanan pulang menuju jalan utama sudah macam petualangan di dunia fantasi saja. Tidak, ini bukan fantasi. Kabut tebal di jalan setapak itu adalah kenyataan.

Bapak dan Ibu Ratijo

Ibu dan Bapak Ratijo mengantar sampai di jalan utama. Kami pamit sekali lagi lalu jalan pulang. Ada janji saya tertinggal di situ. Janji untuk live in di sana. Janji harus ditepati. Entah kapan tapi nanti pasti. Ada yang mau ikutan? Ini tawaran serius kawan. Pasti akan jadi menyenangkan. Kabari saya ya. Hehehe..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun