Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Cerita Jek

26 Juli 2010   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:35 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ada saat-saat di mana Jek memilih bersantai sendiri dibanding minum atau main kartu bersama kawan-kawan lainnya. Tidur di salah satu bis yang sedang tidak narik kadang lebih nikmat. Atau ini. Sekedar nongkrong di lapak Mak dan merokok sambil minum kopi. Seperti malam ini.

Malam ini ada banyak hal merasuki pikiran Jek. Masa lalunya, almarhum bapak ibunya, almarhum istrinya, Noni. Ah, Noni. Noni sedang hamil muda ketika mati ditabrak kereta. Malam sebelumnya Jek menampar Nonti sampai berdarah untuk alasan yang Jek bahkan sudah tidak ingat lagi. Ada rasa sesal, namun disimpan Jek baik baik selama hampir setahun sejak itu. Jek tidak mau jadi pihak yang bersalah. Tapi malam ini rasa sesal itu seperti berontak ingin meloncat-loncat menyayat dada Jek. Bangsat. Jek memaki diri sendiri.

Lalu Jek teringat dengan kontrakannya. Berantakan. Sejak Noni mati, Jek kehilangan alasan pulang ke kontrakan. Setiap sudut seolah mengirimkan tangis Noni atau suara tamparan Jek. Dulu Jek menikmatinya. Sekarang? Entah. Ingin Jek berhenti mengontrak dan pindah ke kontrakan yang lebih murah dekat terminal, dekat rumah Mak. Niat itu sirna ketika Jek tahu Bu Kus, si empunya kontrakan, sakit berat. Uang untuk berobat ya dari uang kontrakan. Jek tertawa miris. Bahkan kalau dia bukan preman pun, hidup mati orang masih ada di tangannya.

Di sela-sela kenangan masa lalu sialan dan asap rokok, tampak seorang gadis duduk di pojokan halte, sekitar tiga ratus meter di depan Jek. Gadis dengan baju berbelahan dada rendah. Pemandangan indah menggoda syahwat perlahan-lahan memenuhi kepala Jek. Ini sudah hampir dua jam si gadis duduk di tempat yang sama. Setelah kopi di hadapan Jek benar-benar habis, Jek menyerah pada hasrat. Ia menghampiri gadis itu. Dari belakang, sambil mengelus kepalanya Jek ikut duduk di samping gadis itu. Tanpa diduga, tangan Jek ditepis. Jek sadar dia salah sangka. Si gadis ini bukan lonte sini. Elusan kepala itu semacam kode ketertatikan, kode yang sudah jadi ciri kas lonte daerah sini.

Tadinya Jek hendak bangkit lagi, namun ada sesuatu menahannya. Kalau bukan lonte, gadis ini pasti sedang kesasar. Kalau kesasar, maka sekarang dia sedang bingung. Orang bingung adalah orang yang pas untuk dimanfaatkan maksimal. Fantasi Jek menjadi liar. Mulutnya segera beraksi memulai usaha mewujudkan fantasi.

“Kamu kesasar ya?”

“Engga bang.”

“Ga punya ongkos pulang?”

Si gadis diam. Jek merogoh kantong, mencari lembar dua puluh ribuan. Ini usaha untuk menunjukan simpati.

“Nih.. Cepet pulang. Ga baek di sini sendirian malam-malam.”

Jek menyisipkan uang itu ke tangan kana si gadis, tapi di luar dugaan gadis itu menolak halus. “Engga bang. Makasih.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun