Kartini merasa tertindas ketika ia sudah memasuki usia remaja yang artinya sudah ada di tahap pendewasaan. Melalui film, dapat dilihat bahwa seorang perempuan harus dipingit atau dikurung di dalam rumah sampai seorang lelaki bangsawan menghampiri untuk meminangnya.
Melihat situasi tersebut, Kartini resah dan sungguh merindukan kebebasan. Hingga akhirnya, sang kakak, Kartono memberikan sebuah kunci kepada Kartini untuk melihat dunia luar.Â
Kunci itu adalah lemari yang berisi buku-buku dan rupanya menjadi salah satu jalan bagi Kartini untuk mewujudkan cita-citanya berjuang membebaskan kaum perempuan dari penindasan.
Budaya Jawa pada abad 19 dikisahkan sangat kental dengan budaya patriarkal. Perempuan hanya dianggap sebagai "konco wingking" yang sering kali disebut tempatnya hanya di dapur, sumur, dan kasur. Akibatnya, perempuan sangat dilarang untuk mengenyam pendidikan yang tinggi.
"Tidak ada yang lebih berharga selain membebaskan pikiran. Tubuh boleh terpasung tapi jiwa dan pikiran harus bebas sebebas-bebasnya"
Salah satu kutipan dialog di atas membuat saya tercengang ketika menyaksikan film ini. Hal ini menunjukkan begitu tersiksanya Kartini dan adik-adiknya tidak memperoleh kebebasan hak-hak mereka.Â
Tetapi di sinilah, Kartini yang begitu cerdas memulai langkahnya untuk mewujudkan impiannya membebaskan kaum perempuan dari pasungan.
Kartini mulai membaca buku-buku karya dari negeri Belanda dan mengadakan sinau bareng dengan masyarakat sekitar kerajaan. Kartini berusaha mendobrak sebuah tradisi pingitan yang selalu mengurung perempuan di dalam kamar.Â
Ia mengajarkan kepada adik-adiknya untuk tetap berkarya walaupun dalam kondisi terkekang. Melalui keberanian itu, Kartini mulai menulis artikel tentang perempuan Jawa dan ternyata tulisannya disukai oleh pihak Belanda.