Ada yang hobi menonton film? Kalau iya, genre apa yang Anda suka? Mungkin comedy, horror, fiction, mystery, adventure, fantasy, thriller, dan masih banyak lagi. Tapi tahu nggak sih kalau Wedding juga termasuk genre film lho!
Kehadiran genre Wedding tentu memberi warna dalam industri perfilman dunia. Ketika memproduksi sebuah film pernikahan, para penggarap film juga harus mempertimbangkan karakter pemain, cerita, dan tema yang ingin ditampilkan.
Tak melulu soal kisah romansa, wedding film juga bisa dilihat sebagai bagian dari pengelompokan melodrama dan film wanita. Terkadang, wedding film pun menyisipkan sisi gelap, lucu, dan politis dari setiap plot dan karakter pemainnya.
Kemudian wedding film juga kerap menyisipkan unsur-unsur budaya baik dari keluarga mempelai pria dan wanita, sehingga penonton pun bisa menemukan pengetahuan baru mengenai film tersebut.
Melalui wedding film, kita sebagai penonton juga bisa lho membandingkan kebiasaan dan sikap kita dengan orang lain. Misalnya ketika melihat bagaimana nilai-nilai seperti doktrin agama, sifat konsumerisme, patriarki, dan romantisme berusaha dimunculkan dalam film tersebut (Coztanzo, 2014, h. 129).
Wedding film juga masuk dalam sub genre romantic comedy. Artinya, film tersebut dikemas secara romantis namun tetap memberikan kesan humor pada jalan ceritanya.
Seringkali film yang mengangkat genre pernikahan dinilai hanya menceritakan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Padahal tidak semuanya berjalan dengan mulus.
Indonesia cukup banyak memberikan suguhan film bergenre wedding. Salah satunya adalah film Wedding Agreement (2019) karya Eria Chuzaimiah yang dibintangi oleh Refal Hady dan Indah Permatasari.
Seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa film bergenre pernikahan mencoba untuk menyisipkan budaya dari keluarga mempelai pria maupun wanita.
Menurut Fanani (2015, h. 2) perjodohan merupakan salah satu alat kebudayaan yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai pernikahan. Perjodohan menjadi pintu awal bagi pasangan untuk mengenal satu sama lain.
Dalam film Wedding Agreement, budaya perjodohan menjadi sorotan utama dari film ini. Bian dan Tari harus menikah karena perjodohan berdasarkan keputusan orang tua Bian. Bian terpaksa menikahi Tari lantaran ingin membahagiakan ibunya, walaupun sebenarnya Bian juga sedang menjalin hubungan selama lima tahun dengan perempuan lain bernama Sarah.
Walaupun dijodohkan, Tari tidak menyerah begitu saja. Melainkan ia terus mempertahankan pernikahannya dan berusaha merebut hati Bian supaya pernikahan mereka tidak kandas di tengah jalan.
Kali ini saya akan coba mengupas film Wedding Agreement (2019) dengan menggunakan beberapa kutipan dari buku karya Coztanzo, 2014 yang berjudul World Cinema through Global Genres.
"whatever these wedding icons represent, there must be trials and obstacles along the way. The course of true love never did run smooth" (Coztanzo, 2014, h. 134),
Saya rasa kutipan di atas sungguh mewakili isi dari perjalanan pernikahan antara Bian dan Tari dalam film Wedding Agreement. Bagaimana tidak? Mereka berdua menjalani pernikahan yang tidak didasarkan oleh cinta, melainkan sebuah perjodohan.
Bian dan Tari menjalani setiap konflik dan lika-likunya. Bian memberikan surat perjanjian bermaterai bahwa mereka tidak boleh mengurusi kehidupan satu sama lain dan pada saat usia pernikahan mereka mencapai 1 tahun, mereka akan bercerai.
Dalam perjalanan pernikahan mereka, Bian sama sekali tidak menerima Tari sebagai istrinya. Dia justru memilih untuk mempertahankan hubungannya dengan Sarah.
Seiring dengan perjalanan rumah tangga mereka, Bian mengajak Tari untuk menghadiri acara ulang tahun papanya. Pada peristiwa itu, mereka berdua terpaksa bersandiwara menjadi pasangan yang bahagia.
Tak disangka, semakin hari seakan-akan semesta berpihak pada Tari. Suatu hari, Bian jatuh sakit dan Tari lah yang merawat ia sampai sembuh. Melihat kesabaran dan ketulusan Tari sebagai seorang istri, perlahan Bian pun luluh.
Di sela keharmonisan di antara Bian dan Tari, permasalahan pun muncul dari Sarah. Tari salah paham mengenai perjumpaan Bian dengan Sarah. Maksud dari pertemuan mereka berdua adalah mempertegas berakhirnya hubungan antara Bian dan Sarah.
Tari berusaha menjauh dari Bian dan ingin mengajukan gugatan cerai. Perasaan Bian yang semakin kuat pada Tari membuat dia berusaha mempertahankan pernikahan mereka.
Stasiun MRT seakan menjadi saksi bagi bertemunya cinta mereka berdua. Bian dan Tari akhirnya bisa menjadi pasangan yang bahagia walaupun awalnya berasal dari perjanjian pernikahan.
"love is a sensation, but marriage is a decision. When a couple says "I do," both parties agree to a social contract" (Coztanzo, 2014, h. 134),
Melalui lika-liku pernikahan Bian dan Tari, kita bisa melihat bahwa tidak semua pernikahan itu selalu bahagia. Akan ada tantangan dan permasalahan di setiap perjalanannya. Namun bagaimana pasangan itu bisa mempertahankan apa yang sudah dijanjikan.
Kutipan di atas menggambarkan bahwa sesungguhnya pernikahan bukan lagi sebuah sensasi, melainkan keputusan yang harus dipertanggungjawabkan. Hal tersebut juga berkaitan dengan perjalanan rumah tangga yang tak melulu mulus. Apapun permasalahan yang dihadapi oleh pasangan suami istri, sudah menjadi konsekuensi sebuah pernikahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H