Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Perang Ngali
Ngali adalah sebuah desa yang berada di sebelah selatan kota Bima tepatnya adalah di distrik Belo. Ngali merupakan sebuah desa yang berada di tengah pergunungan. Ngali pada waktu itu merupakan sebuah kampung yang dipimpin oleh seorang Galarang. Di sebelah timur desa tersebut terdapat gunung Kabuju dan terdapat satu pohon besar. Di sebelah selatan terdapat gunung Tonggondoa. Di sebelah utara agak ke timur terdapat gunung yang berbatasan langsung dengan Monta atau Tolo Monta (Jurdin, 2006:211). Pada saat akhir Sultan Ibrahim memerintah, Belanda mulai secara langsung menguasai kesultanan Bima. Sebagaimana diuraikan bahwa pada masa Sultan Ismail sebagai sultan Bima kesembilan, Belanda berusaha menghasut orang-orang Manggarai untuk mengusir orang-orang Bima di daerah tersebut. Dengan melihat luasnya pengaruh kesultanan Bima. Maka Belanda mengambil kesempatan ketika terjadi perselisihan antara Bima dengan daerah-daerah taklukannya, terutama di (NTT) Nusa Tenggar Timur. Daerah-daerah ini sudah lama diincar oleh Belanda sehingga dijadikan alasan untuk membantu manggarai. Belanda pun berhasil dalam politik hasutan ini. (M. Fachrir Rachman. MA, 2009; 132) Maka pada tahun 1908 Belanda memaksa sultan Ibrahim untuk menandatangani suatu perjanjian yang disebut kontrak politik panjang (long contrac) yang sudah disiapkan oleh Belanda. perjanjian tersebut terdiri dari 16 pasal, pasal yang harus ditandatangani oleh sultan Ibrahim. Di antara isi perjanjian yang ditandatangani itu ialah: (1) Sultan Bima mengakui, bahwa kesultanan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda baik laut, darat dan memakai bendera Belanda; (2) Sultan Bima berjanji senantiasa tidak bekerjasama dengan bangsa kulit putih lain; (3) Apabila Gubernur Belanda menghadapi perang, maka sultan Bima bala bantuan; (4) Sultan Bima berjanji tidak akan menyerahkan wilayah kesultanan Bima kepada bangsa kulit putih lain kecuali Belanda (M. Fachrir Rachman. MA, 2009; 133)
Sekalipun Belanda merampas kemerdekaan Bima, dan sultan terpaksa menandatangani politik kontrak panjang tersebut, namun tidak berarti rakyat Bima menerima begitu saja isi perjanjian itu. Dapat dikata hanya simbolis saja. Rakyat Bima yang terkenal "fanatic" terhadap agama amat membenci Belanda, bahkan dalam bahasa rakyat yang lebih populer dengan sebutan "Dou Kafir" (Orang Kafir) terhadap Belanda. Sebagai peraturan Belanda yang dilaksanakan dengan terpaksa oleh Sultan Ibrahim ditolak oleh masyarakat, rakyat tetap memberontak karena tidak setuju dengan adanya perjanjian tersebut dan didorong oleh jiwa keagamaan yang kuat. Perhatian Sultan Ibrahim terhadp perkembangan agama tetap dicurahkan, terutama dalam memeriahkan hari-hari besar Islam yang merupakan perayaan yang secara estafe tetap dilaksanakan dalam kesultanan Bima. Apalagi dalam perjanjian yang ditandatanggani tersebut pada pasal 3 disebut bahwa pemerintahan Hindia Belanda tetap menghormati perayaan-perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adhar.
Faktor-Faktor Terjadinya Perang Ngali
Sebab Perang Ngali Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perang Ngali adalah sebagai berikut: 1) Perasaan tidak puas terhadap tindakan pemerintah Kolonial Belanda yang memberlakukan berbagai macam peraturan pajak di Kesultanan Bima sehingga rakyat Bima menderita. Tindakan tersebut mendapat perlawanan dari kelompok Ma Kalosa Weki. 2) Kesultanan Bima sebagai bagian dari Hindia Belanda kedaulatannya telah dirampas dengan perjanjian pada tahun 1907 dan dilanjutkan dengan perjanjian Lange Contract (kontrak panjang) pada tahun 1908. 3) Hukum adat dan hukum Islam diganti dengan hukum Belanda sehingga tidak dapat diterima oleh para ulama, pemuka masyarakat dan rakyat Bima pada umumnya. 4) Sistem bea kepala atau belasting ditolak dan dihukumkan haram harus membayar pajak kepada orang kafir (Tayib, 1995:261).
Jalanya Peristiwa Perang Ngali
Menghadapi perjuangan Ngali, Sultan mendapati dirinya dalam posisi yang sulit. Beliua sadar bahwa apa yang dilakukan para bangsawan, ulama, dan tokoh masyarakat terhadap masyarakat adalah sebuah perjuangan (M. Hillir Ismail, 2004: 148), namun Sultan Ibrahim selalu mendukung apa yang dilakukan masyarakat Bima, meskipun keadaan sangat sulit. Sultan Ibrahim mengadakan pertemuan di Palibelo dan Pali Pena antara Galarang di Kejenelian Kesultanan Bima, berdasarkan hasil pertemuan tersebut mereka memutuskan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Melihat situasi tersebut, Galarang Salasa Ompu Kapa'a, ulama, tokoh masyarakat dan golongan mulia mengadakan musyawarah umum yang dilaksanakan di masjid agung desa Ngali. Pertemuan ini membahas berbagai risiko yang mungkin dihadapi dalam menghadapi pasukan Belanda yang dapat menyerang mereka dari utara dan barat. Jumlah tersebut menggerakkan massa di berbagai desa, sehingga ribuan orang berkumpul, siap melawan tentara Belanda. Massa tersebut tidak hanya datang dari Desa Ngali saja tetapi juga dari desa-desa lain di Kejenelian Belo, khususnya Desa Renda, Roi, Roka, Ncera dan Lido (Achad Djakaiah, 1991: 50).Â
Melihat keadaan tersebut, Sultan Ibrahim mengirimkan utusan untuk memberitahukan bahwa pemerintah Belanda akan menyerang mereka. Masyarakat yang mendengar kabar ini sama sekali tidak takut dan bersiap menghadapi serangan tentara Belanda. Massa Ngali pada saat itu dipersenjatai dengan senjata tajam seperti tombak, keris, pedang dan benda tajam lainnya serta masih banyak lagi senjata lainnya. Dengan berkembangnya dan persiapan pertempuran tahun di desa Ngali, maka pemerintah Belanda menjalankan kebijakannya melawan rekannya di Kesultanan Bima dengan membentuk tentara dalam negeri atau tentara kerajaan yang akan menghukum tentara orang Ngali. Mereka berani. Melawan Sultan Ibrahim. Kekuatan-kekuatan ini diciptakan dengan dalih mendukung kekuasaan sultan. Meskipun tujuan utamanya adalah untuk memberi manfaat bagi Belanda, namun melalui Belanda  dapat mempelajari kekuatan tentara rakyat Ngali (Tayib, 1995: 263).
Berakhirnya Peristiwa Perang Ngali
Setelah berakhirnya Perang Ngali di Kesultanan Bima, tentara Belanda menangkap para pemimpin Perang Ngali yang masih hidup, termasuk Haji Muhammad Said Abu Talu dan Haji Yasin, dan menyerahkan mereka kepada Sultan. Keduanya didenda 70 ekor kerbau. Jika melihat peraturan Kesultanan Bima saat ini, seseorang yang tidak menaati pemerintah akan diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup. Kenyataannya, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi mereka yang turut serta dalam perang melawan Belanda. Sultan merasa perlawanan masyarakat di Ngali bukan terhadap Kesultanan Bima melainkan terhadap pemerintah kolonial Belanda (Hilir Ismail, 1989:152). Perlawanan rakyat terus membebani rakyat, yaitu pajak dan kerja paksa. Selain itu, diputuskan juga agar tokoh perang Ngali tidak lagi tinggal di desa-desa, sehingga perlawanan serupa tidak muncul di kemudian hari. Mereka harus tinggal di dekat Sultan. Bagi masyarakat Bima, meski perlawanan bisa ditumpas secara brutal, namun tidak menimbulkan penyesalan atau ketakutan, malah mereka merasa bangga terhadap tanah Bima dan agama yang mereka cintai.
Referensi
Rosdiana, Rosdiana. "Perang Ngali (Perlawanan Masyarakat Bima Terhadap Penjajahan Belanda Tahun 1908-1909)." BAHTRA: Pendidikan Bahasa dan Sastra 3.02 (2022): 9-20.
Bhuana, Alan Ksatrya, and Sumaryoto Sumaryoto. "Refleksi Teologi Perjuangan Kaum Muslim Bima Melawan Imperialisme Kolonial Belanda Dalam Perang Ngali (1908--1909)." Herodotus: Jurnal Pendidikan IPS 6.2 (2023): 174-187.
Sukarddin, Akhmad Arif Musadad, and Suryo Ediyono. "URGENSI KAJIAN KESULTANAN BIMA MASA SULTAN IBRAHIM PASCA PERANG NGALI DI BIMA." KATA PENGANTAR: 179.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H