Mohon tunggu...
Laura Rachel Dumanau
Laura Rachel Dumanau Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengurai Benang Kusut Klaim Historis Laut Cina Selatan

28 November 2023   21:23 Diperbarui: 28 November 2023   21:55 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan strategis, politis, dan ekonomis karena merupakan jalur perdagangan internasional, sumber daya alam, dan klaim kedaulatan yang menjadi sumber sengketa antara beberapa negara di kawasan Asia terutama Cina, Vietnam, Taiwan, Brunei, Filipina, Indonesia dan Malaysia. Konflik ini bermula karena Cina mengklaim sebagian Laut Cina Selatan berdasarkan Sejarah yang mereka miliki dari 2000 tahun lalu. Cina juga menganggap bahwa sebagian besar dari teritorial tidak dapat dinegosiasikan. Pada tahun 1947, Cina mengeluarkan peta yang menunjukkan Sembilan garis putus-putus atau yang dikenal sebagai nine dash line untuk membatasi klaimnya yang mencakup 90% wilayah Laut Cina Selatan termasuk pulau dan segala isinya yang disengketakan seperti Kepulauan Spratly dan Kepulauan Parcel. 

Untuk memperkuat klaimnya atas Laut Cina Selatan, Cina juga perlu untuk membangun pulau buatan, pangkalan militer, dan patrol di wilayah ini. Taiwan juga mengklaim Laut Cina Selatan karena menganggap diri mereka sebagai penerus Cina yang mengeluarkan peta Sembilan garis putus-putus pada tahun 1947. Taiwan turut menguasai salah satu kepulauan Spartly yaitu pulau Taiping. Jika ditinjau dari Kepulauan Spratly dan Kepulauan Parcel, Vietnam juga mengklaim seluruh kedua kepulauan ini berdasarkan hukum dan Sejarah internasional. 

Berdasarkan Sejarah Vietnam, wilayah ini telah dikuasai oleh Kerajaan Vietnam sejak abat ke 17 dan telah ada dalam peta-peta resmi. Oleh karena itu, Vietnam menolak adanya klaim Cina berdasarkan Sembilan garis putus-putus karena dianggap tidak memiliki dasar hukum. Sebagian dari Kepulauan Spratly juga turut diklaim oleh beberapa negara lainnya seperti Filipina, Malaysia, dan Brunei berdasarkan kedekatan geografis dan hukum internasional. Ketiga negara ini mengatakan bahwa sebagian Kepulauan Spartly termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landas kontinen ketiga negara tersebut yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982.

Filipina dan Malaysia juga menguasai beberapa pulau dan terumbu karang di Kepulauan Spartly termasuk Pulau Thitu yang merupakan pulau terbesar kedua disana. Brunei tidak menguasai kepulauan atau terumbu karang apapun di Spartly hanya saja Brunei memiliki klai atas Louisa Reef yang merupkan sumber minyak dan gas. Sementara itu, Indonesia tidak mengklaim apapun di Laut Cina Selatan namun memiliki sengketa dengan Cina di perairan Natuna yang termasuk ZEE Indonesia. Indonesia juga menolak adanya Sembilan garis putus-putus karena dianggap bertentangan dengan UNCLOS 1982. 

Namun untuk mengatasi hal ini, Indonesia selalu memperkuat kehadiran militer dan diplomatik di wilayah Natuna demi menjaga kedaulatan.

              Konflik Laut Cina Selatan tentu saja memiliki berbagai implikasi yang dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu:

  • Aspek politik dimana penyelesaian dengan damai konflik ini dapat meningkatkan kepercayaan dan kerja sama antar negara yang bersengketa. Hal ini juga dapat membantu mengurangi ketegangan konflik di kawasan Asia. Sementara itu, penyelesaidan damai ini dapat dilakukan dengan cara berdialog dan berdiplomasi yang melibatkan adanya organisasi regional seperti ASEAN. ASEAN turut membentu jalannya penyelesaian damai melalui kerja sama regional dan Upaya pembentukan kode etik di Laut Cina Selatan (COC) antara negara-negara ASEAN dengan Cina. COC merupakan alat politik yang memiliki tujuan untuk mencegah dan mengelola konflik di Laut Cina Selatan serta alat yang dapat digunakan untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas keamanan.
  • Aspek hukum dimana dapat memberikan kepastian bagi seluruh pihak yang berkonflik dari sisi hukum internasional terutama hukum laut PBB (UNCLOS) yang disepakati tahun 1982. UNCLOS sendiri adalah alat yang dapat digunakan untuk mengatur kewajiban dan hak seluruh negara dalam mengelola sumber daya alam, maritim, dan keamanan disana. Adanya cara penyelesaian damai yang terdapat di UNCLOS memberikan jalan keluar untuk konflik Laut Cina Selatan dapat dilakukan dalam berbagai cara yaitu mediasi, negosiasi, pengadilan internasional, dan arbitrase.
  • Aspek ekonomi dimana dapat membuka peluang dari sisi ekonomi antar negara yang bersengketa untuk dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut seperti adanya gas, minyak dan keanekaragaman ikan yang dapat bermanfaat untuk kesejahteraan berbagai negara di kawasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun